Rabu, 01 Juni 2011

MANUSIA BUTUH BELAJAR




Oleh ;Muhammad Najib Aulia Zaman
Proses mengenal, memahami dan bertindak sesuai dengan aturan, baik aturan yang berupa norma-norma, regulasi formal suatu lembaga maupun aturan dalam suatu agama pastilah melewati sebuah fase yang dinamakan belajar. Manusia meski telah memiliki potensi (kelebihan) berupa akal yang secara alami telah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, namun tidaklah cukup untuk bisa mendewasakan sikapnya tanpa proses belajar. Seorang anak kecil tetap bisa membedakan mana yang enak dan tidak enak untuk dimakan, namun belum bisa membedakan mana cara yang baik atau bagaimana seharusnya makan yang sesuai dengan etika tanpa melalui proses belajar. Dengan dibantu orang tuanya yang mengajari bagaimana cara makan yang benar, misalnya dengan mengajari kalau makan harus pakai tangan kanan, sebelumnya harus cuci tangan dan berdo’a terlebih dahulu, maka anak kecil tersebut kemudian akan terbiasa makan dengan sikap seperti apa yang telah diajarkan kepadanya. Sedangkan sikap tersebut memang sesuai dengan etika yang berlaku dalam masyarakat maka anak tersebut telah dikatakan memiliki kepribadian yang baik bahkan juga telah dianggap mampu mengamalkan nilai-nilai ajaran agama. Berarti dengan proses belajar, manusia akan menjadi pribadi yang baik, yang memiliki etika yang bisa mengangkat harkat, derajat dan martabatnya. Jadi, manusia akan menjadi baik atau tidak baik itu tergantung atas apa yang diajarkan kepadanya. Seperti apa yang telah dikenal dalam teori pendidikan yang dikenalkan oleh Jhon Lock yakni teori tabularasa yang menyatakan bahwa pada dasarnya manusia itu terlahir dalam keadaan bersih yang diibaratkan seperti kertas putih sehinga keadaan kertas itu akan menjadi baik atau tidak tergantung yang akan memanfaatkanya. Entah kertas tersebut akan ditulisi dengan tulisan-tulisan yang bagus atau tulisan-tulisan yang jelek atau mungkin juga malah dicoret-coret. Diatas telah dicontohkan bagaimana seorang anak kecil bisa mengenal sikap makan yang sesuai dengan etika karena peran ibunya yang telah mengajarinya nilai-nilai kebaikan karena tidak mungkin juga seorang ibu mengajari kejelekan pada anaknya sendiri. Maka disinilah, peran orang tua sangat diharapkan bagi kehidupan anaknya kelak dan sikap ataupun perilaku anak akan sangat ditentukan oleh pendidikan dari orang tuanya. Untuk itu sudah sewajarnya orang tua untuk selalu memberikan perhatian dan peduli terhadap perkembangan pendidikan anak-anaknya. Hanya persoalanya, bagaimanakah ketika anak kurang mendapat perhatian dari orang tuanya dikarenakan mungkin kesibukan orang tua dalam memenuhi kebutuhan hidup (mencari nafkah) sehingga dalam mencurahkan perhatian untuk mengajari anak-anaknya nilai-nilai kebaikan semakin berkurang, rendahnya pendidikan orang tua juga menjadikan tingkat kepedulian terhadap pendidikan anaknya kurang, adanya persolan keluarga dan hal-hal lain yang menjadikan pendidikan anak terabaikan.
Sebagian besar anak-anak sekarang memang sudah mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Dimana sekolah, bagi masyarakat dianggap lebih bisa diharapkan untuk keberlangsungan pendidikan anak-anak mereka kelak sekaligus juga bisa menggantikan peran mereka sebagai orang tua dalam hal pengajaran nilai-nilai kebaikan yang berlaku dalam masyarakat maupun yang sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama. Karena sekolah merupakan lembaga formal yang memang memiliki peran dalam bidang tersebut. Sehingga orang tua mempercayakan kepada sekolah agar kelak anak-anaknya menjadi orang-orang yang berilmu, berpendidikan, dewasa dan bertanggung jawab. Disinilah peran guru menjadi faktor penentu kedua setelah orang tua dalam hal menciptakan generasi-generasi yang memiliki ciri seperti yang telah disebutkan di muka. Guru memiliki peran yang sama pentingnya dengan orang tua dalam menciptakan kepribadian anak, karena ternyata waktu (intensitas) pertemuan anak dengan gurunya malah lebih besar dibanding intensitas bertemunya anak dengan orang tuanya. Ini dikarenakan kebanyakan anak-anak memanfaatkan jam pulang sekolah untuk bermain dengan teman sebayanya, sedangkan malam yang seharusnya bisa dimanfaatkan orang tua untuk menemani belajar anak-anaknya malah dimanfaatkan orang tua untuk istirahat karena kelelahan bekerja seharian. Lantas bagaimanakah seharusnya upaya sekolah untuk bisa menggantikan peran orang tua secara maksimal sehingga sekolah menjadi sebuah lembaga yang benar-benar bisa diharapkan peran dan fungsinya dalam mencerdaskan generasi bangsa ini?
Secara moral individual beban tanggung jawab pendidik (guru) tidak hanya kepada masyarakat tetapi juga kepada Tuhan. Karena pengenalan aspek penghayatan dan pengamalan nilai-nilai keagamaan juga menjadi tanggung jawab seorang pendidik, karena belum dikatakan sempurna jika proses pendidikan hanya terbatas pada aspek duniawi saja tidak menyentuh aspek ukhrowi apalagi dalam pendikan dasar. Maka pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mengedepankan nilai-nilai religiusitas spiritual (afektif) dan pengenalan terhadap Tuhan sehingga anak didik bisa menjadi pribadi yang taat dan taqwa terhadap ajaran agamanya yang menuntunya menjadi manusia yang berkedudukan sebagai Khalifah fil Ardhi sebagaimana yang menjadi amanah yang diberikan Tuhan. Pendidikan spiritual ini juga telah mencakup pendidikan moral atau budi pekerti karena moral merupakan aspek penting dalam pembentukan karakter sehingga wajar jika ada ungkapan yang menyatakan bahwa “Suatu bangsa dikenal karena aklhaknya (budi pekertinya), jika budi pekertinya telah runtuh maka runtuhlah bangsa itu”[1] Ini sesuai dengan gagasan yang pernah dikenalkan oleh Ir.Soekarno yakni Nation Mental and Character Building.
Kita bisa melihat ketika pendidikan hanya mengedepankan intelektualitas pikiran semata dan mengesampingkan pendidikan moral atau akhlak anak didik maka yang ada adalah ketidak siapan mental anak didik untuk menjadi pribadi yang dewasa dan bertanggung jawab. Jadi ketika anak didik telah menjadi orang yang pandai, namun kalau tidak memiliki moral yang benar maka disini bisa dikatakan pendidikan itu telah gagal. Sehingga tidaklah mengherankan jika masih ada banyak para pejabat tinggi yang kapasitas kepandaianya juga tidak perlu dipertanyakan bisa berbuat korupsi, rakus harta ataupun kedudukan dan tidak bertanggung jawab dengan melupakan amanah yang diembanya . Sedemikian besarnya pengaruh pendidikan bagi pembentukan pribadi seseorang. Ini berarti menjadi pendidik adalah sebuah amanah yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab dan kesungguhan tidak hanya sebatas tuntutan profesionalitas apalagi tuntutan materi.
Hal mendasar yang perlu diperhatikan oleh seorang guru dalam mendidik anak disamping adanya kesadaran bahwa mengajar adalah sebuah amanah yang harus dijalankan dengan penuh tanggungjawab juga perlu adanya rasa memiliki dan kepedulian bahwa mereka (anak didik) adalah generasi bangsa, generasi yang akan meneruskan untuk membawa tongkat estafet perjuangan kita kelak. Memang tidak mudah untuk menghantarkan mereka (anak didik) menjadi insan kamil yang bisa memberikan buah karya bagi bangsa ini, namun setidaknya bagaimana membangun kepribadian mereka sehingga paham akan nilai-nilai kebaikan sesuai dengan apa yang ada dalam ruang kehidupanya baik nilai-nilai kebaikan dalam beragama maupun dalam norma kehidupan bermasyarakat.
Saatnya kita (pendidik) melakukan refleksi tentang peran yang sedang kita jalankan ini, sanggupkah kita menjalankan amanah yang begitu berat ini, beranikah kita mempertanggung jawabkan segalanya, iklhaskah kita dalam mengemban amanah ini, masih pedulikah kita dengan generasi bangsa ini, dan masih bisakah kita bersabar untuk membimbing mereka (anak didik). Hanya kitalah yang mengetahui semua jawaban itu, semuanya dikembalikan kepada kita (para pendidik). Semoga dengan usaha kita yang sungguh-sungguh Alloh memberikan ridhonya kepada kita semua.Amiin.
LONG LIFE EDUCATION....

[1] Abdul Khaliq dkk.Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Tokoh Klasik dan kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), Hlm.117