Membangun Sikap Kritis Mahasiswa Menuju Transformasi Sosial
Oleh : Muhamad Najib Aulia Zaman[1]
Dalam proses transformasi sosial meniscayakan adanya kesatuan gerak yang berorientasi sepenuhnya pada kepentingan masyarakat dalam hal ini civil society yang menjadi bagian dari goal target bagi adanya kesejahteraan dan keadilan. Karena pada dasarnya segala bentuk penindasan, ketidak adilan dan perampasan hak-hak akan senantiasa mewarnai seiring dengan perjalanan hidup manusia. Meski sebenarnya problematika itu telah lama hadir di tengah-tengah kehidupan masyarakat, namun upaya penyelesaian dari segala bentuk diskriminasi dan eksploitasi itu selalu harus berhadapan dengan sebuah system yang menghegemoni. Terlebih pada era global ini dimana manusia telah diposisikan sama yang tunduk pada satu aturan yang berada pada kekuasaan tunggal bernama kapitalisme. Wilayah pribadi seolah telah melebur menjadi wilayah kesatuan yang mengikat. Tidak ada lagi kemandirian, baik dalam bersikap maupun berfikir, hingga manusia pun benar-benar kehilangan jati dirinya.
Pada ranah budaya kita juga menghadapi sebuah realitas yang sama. Gempuran popular culture mengikis semangat egaliter, mengkontaminasi budaya dan norma-norma yang masih ada di tengah masyarakat. Melihat reailitas ini, maka mahasiswa sebagai penyandang agen perubahan tetap menjadi sebuah harapan bersama untuk mengawali langkah rekonstruksi. Sebuah langkah rekonstruksi pun harus senatiasa diiringi dengan sikap kesadaran untuk melakukan refleksi sampai pada tingkat pemaknaan kembali manusia sebagai pribadi yang berkarakter dan otentik. Hal kedua yang lebih penting adalah membangun satu paradigma baru yang sarat akan aksiologis yang lahir dari pembacaan terhadap realitas praksis kehidupan manusia. Sebuah paradigma yang mementingkan nilai-nilai kemanusiaan.
Sebagai sesuatu yang prinsip untuk memahami sebuah élan dasar pergerakan demi menumbuhkan loyalitas dan komitmen menjalankan misi organisasi (PMII) yang tidak boleh luntur ketika dihadapkan pada tawaran realitas yang pragmatis, maka penguatan ideology yang berada pada bingkai Aswaja merupakan suatu hal yang tidak boleh ditawar lagi, karena ideology aswaja merupakan kerangka acuan yang sesuai dengan misi yang kita emban. Bagaimanapun seorang kader PMII harus mampu mengaktualisasikan diri sebagai seorang yang “melek” terhadap realitas yang mengitarinya untuk kemudian melakukan sebuah perubahan. Karena bagaimanapun, citra sebagai seorang Mahasiswa yang notabene sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki citra sebgai kaum terpelajar dan memikul mandat social harus berani untuk dipertaruhkan demi sebuah komitmen bahwa mahasiswa harus menjadi garda depan untuk melakukan sebuah perubahan.
Namun, sebelum itu kita harus lebih dulu memahami sebuah paradigma sebagai kerangka berpijak dalam melakukan perubahan itu sendiri. Karena kadang kita hanya latah dan terbawa euphoria yang kemudian berimbas pada sikap pragmatisme. Paradigma adalah seperangkat prisip, nilai-nilai serta teori pergerakan. Paradigma merupakan cara kita membaca dan menafsirkan sejarah. Paradigma merupakan panduan dasar dalam gerakan.
Di PMII, paradigma merupakan cara berfikir, bersikap, dan bergerak serta berjuang menegakan nilai-nilai Aswaja. Cara berfifkir menurut PMII sebagai refleksi ahlussunnah wal jama’ah adalah metode berpikir dialektis yang memadukan antara dalil naqli (doktrin/wahyu), dalil aqli (rasio/akal), dalil irfani (intuisi, ilham), dan dalil waqi’I (empiria). Maka, disini PMII menolak sikap yang hanya menekankan rasionalitas semata dan mengabaikan kebenaran wahyu, begitu juga sebaliknya PMII menolak cara berfikir materialistis yang mengabaikan kenyataan metafisik, juga menolak adanya pemahaman keagamaan yang skriptualis. Dalam bersikap, PMII memandang dunia sebagai realitas yang plural dan bertingkat-tingkat, karena itu pluralitas diterima sebagai kenyataan. Namun juga bersikap aktif yakni menjaga dan mempertahankan pluralitas tersebut agar kehidupan menjadi harmoni, sebagai sebuah kekayaan dengan tetap menjaga identitas masing-masing sehingga memudahkan kita untuk tetatp bisa saling mengenal (lita’arofu). Dengan demikian, PMII senantiasa menjunjung tinggi sikap toleransi dan menolak semua sikap yang mengganggu keanekaragaman atau pluralitas budaya tersebut. Sedangkan dalam bertindak, PMII mengakui adanya kehendak Alloh (taqdir) tetapi mengakui bahwa Alloh mengkaruniakan manusia akal pkiran dan kehendak. Karena itu dalam bertindak, PMII tidak bersikap pasif fatalistic dalam menghadapi kehendak Alloh (narimo ing pandum), tetapi berusaha mencapai taqdir Alloh yang dalam theologi dikenal dengan istilah kasab (berjuang). Namun demikian, PMII juga tidak bersikap antroposentrisme, bahwa manusia bebas berkehendak (seperti qodariyah). Disnilah gambaran nyata bahwa sikap tawazun sebagai salah satu prinsip yang terkandung dalam aswaja bisa kita aplikasikan dalam memandang realitas yang kita hadapi.
Dalam melakukan perubahan, kita sebenarnya tidak butuh kecerdasan jika masih berfikir untung rugi dalam hal materi, kita tidak butuh militansi jika hanya untuk mengejar kepentingan pribadi, kita juga tidak butuh loyalitas jika hanya bertujuan untuk meraih kekuasaan semata. Yang kita butuhkan sebenarnya adalah kepekaan, kesadaran dan ketajaman nurani untuk membela kebenaran, menegakan keadilan, melawan segala bentuk penindasan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Dalam hal ini, PMII mengambil peran sebagai organ pergerakan yang diharapkan mampu menjawab persoalan yang sedang kita hadapi ini, namun satu hal penting yang harus kita pahami bahwa di PMII kita tidak sebatas mengaktualisasikan diri pada ranah wacana saja tetapi juga harus bergerak menuju tataran aksi. Karena secara ontologis keberadaan PMII adalah sebagai alat perjuangan.
Untuk itu sebagai bagian dari upaya mewujudkan perubahan social yang terarah dan terencana, maka dibutuhkan sebuah pemahaman akan pentingnya sebuah landasan gerak tanpa melupakan sisi historisitas bagaimana perjalanan organisai ini (baca : PMII) berdiri dan mampu memberikan kontribusinya dalam kancah perjuangan bangsa.
Perlu kita ketahui bahwa, para founding fathers PMII mendirikan organisasi ini tidak pada ruang kosong dan terpisah dari realitas sejarah. Para sahabat-sahabat kita yang lebih dahulu menjadi kader dan pengurus PMII juga telah memberikan landasan ideal dan paradigmatik apa dan bagaimana sebenarnya PMII itu serta model gerakan apa yang akan dilahirkannya.
Beberapa tahun lampau, setidaknya pada era 1990-an, organisasi ini dinilai oleh banyak pihak sebagai organisasi mahasiswa paling dinamis, liberal dan berani. PMII dinilai sebagai salah satu motor utama anti kemapanan, pejuang demokrasi dan pembela wong cilik. Para kadernya adalah mereka-mereka yang sangat “gila wacana”. Pemikiran Arkoun, Hasan Hanafi, Ahmed An-Na’im, Marx, Gramsci, Tan Malaka, Foucoult, Derrida, hingga Che Guevara, menjadi santapan dan menu sehari-hari aktivis PMII. Hampir tidak ada aksi jalanan yang tidak menyertakan PMII, bermacam advokasi dan kerja pemberdayaan masyarakat tertindas terjadi di berbagai daerah hingga mampu membawa organisasi ini menjadi salah satu “most wanted” rezim Orde Baru.
Realitas sosial di atas menjadi fakta tak tergugat disebabkan kemampuan PMII dengan seluruh resources yang dimilikinya mampu berdialog secara kreatif dengan konteks dan historisitas sosial saat itu, sehingga elan vital gerakan begitu tampak menggeliat dalam kerja-kerja kongkrit demokrasi, kemanusiaan dan perjuangan mewujudkan keadilan. Meskipun pada zaman ini, kekurangan di sana-sini masih terlihat, siapapun bisa menilai bahwa organisasi kader ini telah sanggup menyatukan dirinya dengan realitas historis dan menjadi anak zamannya. Antara gerakan pemikiran dan gerakan jalanan bisa berpadu, bergerak kreatif dan dinamis menjawab berbagai keruwetan dan persoalan hidup masyarakat dan bangsa Indonesia .
Terlebih saat ini PMII telah menjadi organisasi yang besar ( dalam kongres di Batam disebutkan sebagai organisasi Mahasiswa terbesar se Asia Tenggara), semoga dengan kebesaran ini tidak menjadikan PMII justru terjebak pada euphoria yang hampa akan nilai-nilai juangnya. Karena indikasi kepentingan politik di dalamnya saat ini sudah sangat terasa yang dikhawatirkan akan berdampak pada pupusnya semangat juang para kader di bawahnya.
Arus perubahan menuntut adanya sebuah kesadaran dari pihak yang menginginkan perubahan itu sendiri, seperti yang dikatakan oleh Freud bahwa kehidupan hanyalah pertarungan antara kesadaran dan ketidak sadaran, maka pertanyaanya, dimanakah kita saat ini? Apakah ada dalam dimensi kesadaran atau justru sebaliknya terbuai lelap dalam ketidak pastian hidup? Dan bila kita telah memiliki kesadaran, apakah kesadaran itu benar-benar nyata (autentik). Atau sebaliknya masih semu? Hanya bentuk kelatahan kita pada kondisi social dan diri yang memang tidak kita mengerti dan tidak kita pahami?
![](file:///C:/Users/TOSHIBA/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.jpg)
Akhirnya………
Tunduk Tertindas Atau Bangkit Melawan
Karena Lari Dari Masalah Adalah Pecundang..!!!!
We Are Nothing If We Hang On A Hopless,
But We Are Great If We Want To Change…Hidup PMII..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar