OPINI

Muhammad Syahrur dan Hasil Pemikiranya
Oleh: Muhammad Najib Aulia Zaman

Sesuatu yang kontroversial memang selalu menarik untuk dibicarakan sehingga menimbulkan gairah seseorang untuk mengetahui lebih dalam tentang latarbelakang ataupun sesuatu yang berkaitan dengan tokoh yang memunculkan kontroversi tersebut.Adalah Muhammad Syahrur seorang mufasir kontemporer yang mencoba melakukan terobosan baru dalam melakukan pembacaan terhadap kitab suci al-Qur’an. Salah satu pemikiran Muhamad Syahrur yang menarik untuk kita kaji adalah mengenai penafsirannya tentang ayat-ayat shalat dalam al-Qur’an yang ternyata ada sedikit perbedaan dengan apa yang selama ini kita pahami. Meskipun untuk pembahasan ini tidak begitu kontroversial dibandingkan penafsiran Syahrur yang lain, namun dari apa yang dipahami oleh Syahrur mengenai ayat-ayat shalat kemungkinan akan berpengaruh terhadap aktualisasi ibadah shalat.
Seperti kita tahu bahwa shalat merupakan ibadah ritual yang dijalankan oleh setiap muslim terutama shalat lima waktu yang menjadi kewajiban. Sehingga akan dihukumi dosa bagi siapa saja yang meninggalkanya, bahkan karena waktunya pun sudah ditentukan kita tidak boleh untuk mengakhirkanya (menyia-nyiakan) sesuai yang tersirat dalam surat al-Ma’un ayat 4-5. Sebagian mufasir mengartikan kata menyia-nyiakan dalam surat tersebut adalah menyia-nyiakan waktu pelaksanaan sholat dengan berdasarkan beberapa hadis seperti yang diriwayatkan oleh Said bin Abi Waqash yang berbunyi:
“Aku pernah bertanya kepada Rosululloh SAW tentang orang yang lalai dari shalat mereka”. Beliau menjawab, yaitu orang-orang yang mengakhirkan shalat sehingga keluar dari waktunya” .
Kemudian Hadis riwayat Bukhori dan Muslim: “Aku pernah bertanya kepada Rosululloh Saw. ”Amal apa yang paling dicintai Alloh Azza Wa jalla?”Jawab beliau: “Shalat di awal waktu, berbakti kepada orang tua, jihad fii sabilillah” .
Berbeda dengan Syahrur yang memahami kata shalat dalam ayat tersebut bukan shalat dalam bentuk ritual (berdiri, rukuk, sujud dan sebagainya) seperti yang selama ini kita kenal melainkan sholat dalam arti hubungan (silah). Begitu juga dengan kata mushallin dalam ayat tersebut dipahami Syahrur bukan orang yang mengerjakan shalat. Hal ini oleh Syahrur didasarkan atas perbedaan penulisan dari kata shalat tersebut, yakni as-sholah yang ditulis dengan wawu setelah lam yang beliau pahami sebagai shalat dalam bentuk ritus dan as-sholah yang ditulis dengan alif setelah lam yang beliau pahami sebagai silah (hubungan).
Sebagaimana kita ketahui bahwa shalat berupa ritus sesuai dengan pengertian yang diberikan para fuqaha, yakni Suatu ibadah yang terdiri atas ucapan-ucapan dan beberapa perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam dengan syarat dan rukun tertentu, termasuk di dalamnya adalah shalat lima waktu. Hanya saja menurut Syahrur setiap terma shalat yang disebutkan dalam al-Qur’an tidak mewakili pengertian shalat lima waktu. Karena dari sisi sejarah anggapan ini tidak bisa dibenarkan . Hal ini juga didasarkan kenyataan bahwa pelaksanaan ritual shalat tidak dijelaskan secara rinci dalam al-Qur’an. Penjelasan terkait waktu pelaksanaan dan jumlah rakaatnya lebih banyak dijelaskan dalam beberapa Hadis Nabi Saw. Lebih lanjut Syahrur mengatakan bahwa perintah shalat lima waktu yang secara jelas disebutkan dalam al-Qur’an hanyalah shalat Jum’at dan shalat Ashar . Firman Alloh dalam surat al-Jumu’ah ayat 9 yang berbunyi:
ياايهاالذين امنوااذاندىللصلوة من يوم الجمعة فا سعواالىذكرالله وذ رواالبيع ذلكم خيرلكم ان كنتم تعلمون*
Artinyas :”Hai orang-orang yang beriman apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Alloh dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”.
Kemudian firman Alloh dalam surat al-Baqarah ayat 238:

حا فظواعلى الصلوات والصلوة الوسطى وقوموالله قا نتين*
Artinya :”Peliharalah segala shalat (mu), dan peliharalah shalat wustha. Berdirilah karena Alloh (dalam shalatmu) dengan khusyuk”
Mengenai hal ini jika dikaitkan dengan teori batas yang dikenalkan Syahrur ada kemungkinan bahwa shalat juga masuk pada wilayah hudud meskipun tidak dinyatakan secara jelas oleh Syahrur. Mengingat penerapan teori batas secara umum hanya didasarkan atas firman Alloh dalam surat an-Nisa ayat 13-14.
تلك حدودالله ومن يطع الله ورسوله يدخله جنات تجرى من تحتهاالانهار
خا لد ين فيها وذلك الفوزالعظيم* ومن يعص الله ورسوله ويتعد حدوده يدحله ناراخالدافيها وله عذاب مهين*
Artinya :”(Hukum-hukum tersebut) adalah ketentuan-ketentuan dari Alloh. Barang siapa taat kepada Alloh dan RosulNya niscaya Alloh memasukanya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya, dan itulah kemenangan yang besar. Dan barang siapa mendurhakai Alloh dan RosulNya serta melanggar ketentuan-ketentuaNya, niscaya Alloh akan memasukanya ke dalam api neraka, sedang ia kekal di dalamnya dan baginya siksa yang menghinakan.”
Dalam penggalan ayat yang berbunyi تلك حدودالله dipahami oleh Syahrur bahwa yang memiliki otoritas untuk menetapkan batasan-batasan hukum adalah hanya Alloh semata, karena itu Alloh adalah satu-satunya penentu hukum yang berlaku hingga akhir zaman . Dia tidak pernah memberikan otoritas ini kepada yang lain, bahkan kepada Nabi Muhammad sekalipun. Jadi, menurut Syahrur, otoritas penetapan hukum (haq at-tasyrik) itu hanya milik Alloh, sedangkan Muhammad Saw. meskipun sebagai seorang Nabi atau Rosul tidak memiliki otoritas penuh dalam menentukan hukum. Beliau adalah seorang pelopor ijtihad dalam Islam.
Pendapat Syahrur ini berdasarkan pemahamanya terhadap penggalan ayat setelahnya yakni ويتعد حدوده yang berarti ”dan melanggar batas ketetapan hukumNya”. Kata ganti (dhamir) " ه" pada penggalan ayat di atas merujuk kepada Alloh saja, Syahrur berpendapat bahwa seandainya Nabi Muhammad juga memiliki otoritas tasyri’ untuk menetapkan hukum, tentunya ayat itu akan berbunyi ويتعد حدودهما, yang artinya ”dan melanggar batas-batas penetapan hukum keduanya (Alloh dan RosulNya)”.
Disini kata حدود berbentuk jamak (plural) dari bentuk mufradnya hadd, yang artinya batas (hadd) yang ditentukan oleh Alloh berjumlah banyak dan manusia memiliki keleluasaan untuk memilih batasan tersebut sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi yang melingkupinya. Selama masih berada dalam koridor batasan tersebut, manusia tidak menanggung beban dosa. Pelanggaran hukum Tuhan terjadi jika manusia melampui batasan-batasan tersebut. Adapun untuk batasan tersebut menurut Syahrur berupa batasan maksimal (al-hadd al a’la) dan batasan minimal (al-hadd al-adna) ataupun kondisi dari keduanya, sedangkan ijtihad manusia bergerak dalam dua batasan tersebut.
Dengan dasar tersebut kemudian Syahrur memberikan kesimpulan bahwa ketetapan hukum yang bersumber dari Nabi tidak sama dengan penetapan hukum dari Alloh, dalam arti hukum yang berasal dan ditetapkan oleh Alloh bersifat mutlak dan berlaku sepanjang masa, sedangkan hukum yang berasal dari Nabi tidak berlaku sepanjang masa atau bersifat temporal kondisional sesuai dengan derajat pemahaman, nalar zaman, dan peradaban masyarakat waktu itu. Jadi, ruang gerak ijtihad masih sangat terbuka asal tidak melanggar batas-batas yang sudah ditetapkan Alloh.
Lantas ketika perintah shalat lima waktu tidak disebutkan secara jelas dalam al-Qur’an kecuali shalat Jum’at dan shalat ashar termasuk ketentuan atau tata caranya yang malah lebih banyak dijelaskan dalam Hadis Nabi, maka secara tidak langsung Syahrur telah memberlakukan teori batas pada shalat dengan shalat Jum’at dan ashar sebagai batas minimalnya. Ini bisa lebih jelas terlihat ketika Syahrur mengatakan bahwa seseorang yang telah meninggalkan shalat Jum’at bisa dikategorikan orang yang telah keluar dari agama Islam atau kafir Kemudian bagaimanakah dengan orang yang meninggalkan sholat selain sholat jum’at?Menurut Syahrur mereka masih bisa diampuni dosanya selama masih mengakui keeksistensian Alloh.
Dengan pemahaman seperti ini kemudian Syahrur memberikan pengertian dari kata mushallin pada ayat 39-46 dalam surat al-Mudatsir sebagai berikut:
الا اصحا ب اليمين* في جنا ت يتساء لون* عن المجرمين* ماسلككم في سقر* قا لولم نك من المصلين* و لم نك نطعم المسكين*وكنا نخوض مع الخا ئضين * وكنا نكذ ب بيوم الد ين*

Artinya: ”Kecuali golongan kanan, mereka di dalam syurga saling bertanya tentang ( keadaan ) para pendosa ( mujrimun ). Apa yang memasukan kalian ke saqar ? mereka menjawab: Kami dahulu tidak termasuk mushallin. Tidak memberi makan orang miskin. Kami membicarakan kebathilan bersama orang–orang yang membicarakanya dan kami mendustakan hari pembalasan”
Gambaran tersebut diberikan kepada Ashab al–Yamin di syurga yang bertanya kepada mujrimun, apa yang membawa mereka ke neraka? mereka menjawab: Karena kami tidak menerima Islam secara teoritis maupun praksis, menyangkal eksistensi Alloh hingga kami memutus hubungan dengaNya (لم نك من المصلين), tidak mengakui adanya Hari Akhir (وكنا نكذ ب بيوم الد ين), tidak berperilaku yang bermanfaat bagi mereka ( لم نك نطعم المسكين), tetapi kami berperilaku buruk dan merusak ( وكنا نخوض مع الخا ئضين) meyakini hanya terhadap yang kasat mata dan mungkir terhadap yang tidak tampak.
Jadi, dengan pengertian tersebut kata mushallin, menurut Syahrur bukanlah orang yang mendirikan shalat karena menurutnya jika merujuk pada tanzil Hakim, tidak akan ditemukan penyebutan mushallin untuk orang yang mendirikan shalat. Ini dari satu sisi di sisi lain, meninggalkan shalat ataupun puasa tidak ada kaitanya dengan iman kepada Alloh dan Hari Akhir .
Selain atas dasar argumen tersebut, menurut Syahrur -yang menganggap ada persamaan besar antara surat al-Ma’un dan al-Mudatsir- terkait dua hal,yaitu:
1. Firman Alloh dalam Q.S al–Mudatsir : 26, sauslihi saqar. Yang dimaksud adalah Walid Ibn al–Mughirah yang menyombongkan diri ketika mendengar al–Qur’an dan mengatainya sebagai sihir yang berasal dari perkataan manusia.
Dalam istilah Qur’ani, Walid Ibn al–Mughirah termasuk yang kafir terhadap eksistensi Alloh, mengingkari Hari Akhir dan Hari Kebangkitan, karenanya Alloh akan mengantarkanya ke Neraka Saqar. Menurut Syahrur terlalu dangkal, mengatakan faktor yang menyebabkan Walid masuk neraka adalah karena ia tidak termasuk orang yang menegakan shalat, sebab shalat tidak terhitung sebagai kriteria yang dapat menggolongkan manusia sebagai mujrim atau bukan.
2. Q.S al–Mudatsir dan al–Ma’un termasuk surat Makiyah, sementara salat diturunkan di Madinah. Bagaimana bisa diterima, anggapan bahwa Walid telah meninggalkan sesuatu yang saat itu belum dibebankan, bahkan lebih jauh menganggapnya sebagai salah satu sebab masuknya ke neraka. Perlu diketahui, saat itu belum ada sahabat yang menjalankan shalat.
Dalam konteks ayat ini yang membicarakan tentang Walid Ibn Mughirah, menurut Sayhrur sebab disiksanya Walid Ibn Mughirah dengan dimasukan ke Neraka Saqar bukan lantaran dia menyia-nyiakan ritus shalat, tapi dimasukanya Walid Ibn Mughirah ke Neraka Saqar itu disebabkan karena dia telah memutus hubungan dengan Alloh ( لم نك من المصلين) artinya dia telah kafir dan orang kafir tidak perlu ditanya lagi mengenai dosa-dosanya karena dengan tidak meyakini eksistensi Alloh ini telah cukup sebagai tiket perjalanan ke neraka tanpa membutuhkan timbangan atau perhitungan. firman Alloh dalam surat an-Nisa ayat 48: “Sesungguhnya Alloh tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni dosa selain syirik itu bagi siapa saja yang dikehendakiNya”.
Muhammad Syahrur dan Hasil Pemikiranya
Oleh: Muhammad Najib Aulia Zaman

Sesuatu yang kontroversial memang selalu menarik untuk dibicarakan sehingga menimbulkan gairah seseorang untuk mengetahui lebih dalam tentang latarbelakang ataupun sesuatu yang berkaitan dengan tokoh yang memunculkan kontroversi tersebut.Adalah Muhammad Syahrur seorang mufasir kontemporer yang mencoba melakukan terobosan baru dalam melakukan pembacaan terhadap kitab suci al-Qur’an. Salah satu pemikiran Muhamad Syahrur yang menarik untuk kita kaji adalah mengenai penafsirannya tentang ayat-ayat shalat dalam al-Qur’an yang ternyata ada sedikit perbedaan dengan apa yang selama ini kita pahami. Meskipun untuk pembahasan ini tidak begitu kontroversial dibandingkan penafsiran Syahrur yang lain, namun dari apa yang dipahami oleh Syahrur mengenai ayat-ayat shalat kemungkinan akan berpengaruh terhadap aktualisasi ibadah shalat.
Seperti kita tahu bahwa shalat merupakan ibadah ritual yang dijalankan oleh setiap muslim terutama shalat lima waktu yang menjadi kewajiban. Sehingga akan dihukumi dosa bagi siapa saja yang meninggalkanya, bahkan karena waktunya pun sudah ditentukan kita tidak boleh untuk mengakhirkanya (menyia-nyiakan) sesuai yang tersirat dalam surat al-Ma’un ayat 4-5. Sebagian mufasir mengartikan kata menyia-nyiakan dalam surat tersebut adalah menyia-nyiakan waktu pelaksanaan sholat dengan berdasarkan beberapa hadis seperti yang diriwayatkan oleh Said bin Abi Waqash yang berbunyi:
“Aku pernah bertanya kepada Rosululloh SAW tentang orang yang lalai dari shalat mereka”. Beliau menjawab, yaitu orang-orang yang mengakhirkan shalat sehingga keluar dari waktunya” .
Kemudian Hadis riwayat Bukhori dan Muslim: “Aku pernah bertanya kepada Rosululloh Saw. ”Amal apa yang paling dicintai Alloh Azza Wa jalla?”Jawab beliau: “Shalat di awal waktu, berbakti kepada orang tua, jihad fii sabilillah” .
Berbeda dengan Syahrur yang memahami kata shalat dalam ayat tersebut bukan shalat dalam bentuk ritual (berdiri, rukuk, sujud dan sebagainya) seperti yang selama ini kita kenal melainkan sholat dalam arti hubungan (silah). Begitu juga dengan kata mushallin dalam ayat tersebut dipahami Syahrur bukan orang yang mengerjakan shalat. Hal ini oleh Syahrur didasarkan atas perbedaan penulisan dari kata shalat tersebut, yakni as-sholah yang ditulis dengan wawu setelah lam yang beliau pahami sebagai shalat dalam bentuk ritus dan as-sholah yang ditulis dengan alif setelah lam yang beliau pahami sebagai silah (hubungan).
Sebagaimana kita ketahui bahwa shalat berupa ritus sesuai dengan pengertian yang diberikan para fuqaha, yakni Suatu ibadah yang terdiri atas ucapan-ucapan dan beberapa perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam dengan syarat dan rukun tertentu, termasuk di dalamnya adalah shalat lima waktu. Hanya saja menurut Syahrur setiap terma shalat yang disebutkan dalam al-Qur’an tidak mewakili pengertian shalat lima waktu. Karena dari sisi sejarah anggapan ini tidak bisa dibenarkan . Hal ini juga didasarkan kenyataan bahwa pelaksanaan ritual shalat tidak dijelaskan secara rinci dalam al-Qur’an. Penjelasan terkait waktu pelaksanaan dan jumlah rakaatnya lebih banyak dijelaskan dalam beberapa Hadis Nabi Saw. Lebih lanjut Syahrur mengatakan bahwa perintah shalat lima waktu yang secara jelas disebutkan dalam al-Qur’an hanyalah shalat Jum’at dan shalat Ashar . Firman Alloh dalam surat al-Jumu’ah ayat 9 yang berbunyi:
ياايهاالذين امنوااذاندىللصلوة من يوم الجمعة فا سعواالىذكرالله وذ رواالبيع ذلكم خيرلكم ان كنتم تعلمون*
Artinyas :”Hai orang-orang yang beriman apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Alloh dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”.
Kemudian firman Alloh dalam surat al-Baqarah ayat 238:

حا فظواعلى الصلوات والصلوة الوسطى وقوموالله قا نتين*
Artinya :”Peliharalah segala shalat (mu), dan peliharalah shalat wustha. Berdirilah karena Alloh (dalam shalatmu) dengan khusyuk”
Mengenai hal ini jika dikaitkan dengan teori batas yang dikenalkan Syahrur ada kemungkinan bahwa shalat juga masuk pada wilayah hudud meskipun tidak dinyatakan secara jelas oleh Syahrur. Mengingat penerapan teori batas secara umum hanya didasarkan atas firman Alloh dalam surat an-Nisa ayat 13-14.
تلك حدودالله ومن يطع الله ورسوله يدخله جنات تجرى من تحتهاالانهار
خا لد ين فيها وذلك الفوزالعظيم* ومن يعص الله ورسوله ويتعد حدوده يدحله ناراخالدافيها وله عذاب مهين*
Artinya :”(Hukum-hukum tersebut) adalah ketentuan-ketentuan dari Alloh. Barang siapa taat kepada Alloh dan RosulNya niscaya Alloh memasukanya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya, dan itulah kemenangan yang besar. Dan barang siapa mendurhakai Alloh dan RosulNya serta melanggar ketentuan-ketentuaNya, niscaya Alloh akan memasukanya ke dalam api neraka, sedang ia kekal di dalamnya dan baginya siksa yang menghinakan.”
Dalam penggalan ayat yang berbunyi تلك حدودالله dipahami oleh Syahrur bahwa yang memiliki otoritas untuk menetapkan batasan-batasan hukum adalah hanya Alloh semata, karena itu Alloh adalah satu-satunya penentu hukum yang berlaku hingga akhir zaman . Dia tidak pernah memberikan otoritas ini kepada yang lain, bahkan kepada Nabi Muhammad sekalipun. Jadi, menurut Syahrur, otoritas penetapan hukum (haq at-tasyrik) itu hanya milik Alloh, sedangkan Muhammad Saw. meskipun sebagai seorang Nabi atau Rosul tidak memiliki otoritas penuh dalam menentukan hukum. Beliau adalah seorang pelopor ijtihad dalam Islam.
Pendapat Syahrur ini berdasarkan pemahamanya terhadap penggalan ayat setelahnya yakni ويتعد حدوده yang berarti ”dan melanggar batas ketetapan hukumNya”. Kata ganti (dhamir) " ه" pada penggalan ayat di atas merujuk kepada Alloh saja, Syahrur berpendapat bahwa seandainya Nabi Muhammad juga memiliki otoritas tasyri’ untuk menetapkan hukum, tentunya ayat itu akan berbunyi ويتعد حدودهما, yang artinya ”dan melanggar batas-batas penetapan hukum keduanya (Alloh dan RosulNya)”.
Disini kata حدود berbentuk jamak (plural) dari bentuk mufradnya hadd, yang artinya batas (hadd) yang ditentukan oleh Alloh berjumlah banyak dan manusia memiliki keleluasaan untuk memilih batasan tersebut sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi yang melingkupinya. Selama masih berada dalam koridor batasan tersebut, manusia tidak menanggung beban dosa. Pelanggaran hukum Tuhan terjadi jika manusia melampui batasan-batasan tersebut. Adapun untuk batasan tersebut menurut Syahrur berupa batasan maksimal (al-hadd al a’la) dan batasan minimal (al-hadd al-adna) ataupun kondisi dari keduanya, sedangkan ijtihad manusia bergerak dalam dua batasan tersebut.
Dengan dasar tersebut kemudian Syahrur memberikan kesimpulan bahwa ketetapan hukum yang bersumber dari Nabi tidak sama dengan penetapan hukum dari Alloh, dalam arti hukum yang berasal dan ditetapkan oleh Alloh bersifat mutlak dan berlaku sepanjang masa, sedangkan hukum yang berasal dari Nabi tidak berlaku sepanjang masa atau bersifat temporal kondisional sesuai dengan derajat pemahaman, nalar zaman, dan peradaban masyarakat waktu itu. Jadi, ruang gerak ijtihad masih sangat terbuka asal tidak melanggar batas-batas yang sudah ditetapkan Alloh.
Lantas ketika perintah shalat lima waktu tidak disebutkan secara jelas dalam al-Qur’an kecuali shalat Jum’at dan shalat ashar termasuk ketentuan atau tata caranya yang malah lebih banyak dijelaskan dalam Hadis Nabi, maka secara tidak langsung Syahrur telah memberlakukan teori batas pada shalat dengan shalat Jum’at dan ashar sebagai batas minimalnya. Ini bisa lebih jelas terlihat ketika Syahrur mengatakan bahwa seseorang yang telah meninggalkan shalat Jum’at bisa dikategorikan orang yang telah keluar dari agama Islam atau kafir Kemudian bagaimanakah dengan orang yang meninggalkan sholat selain sholat jum’at?Menurut Syahrur mereka masih bisa diampuni dosanya selama masih mengakui keeksistensian Alloh.
Dengan pemahaman seperti ini kemudian Syahrur memberikan pengertian dari kata mushallin pada ayat 39-46 dalam surat al-Mudatsir sebagai berikut:
الا اصحا ب اليمين* في جنا ت يتساء لون* عن المجرمين* ماسلككم في سقر* قا لولم نك من المصلين* و لم نك نطعم المسكين*وكنا نخوض مع الخا ئضين * وكنا نكذ ب بيوم الد ين*

Artinya: ”Kecuali golongan kanan, mereka di dalam syurga saling bertanya tentang ( keadaan ) para pendosa ( mujrimun ). Apa yang memasukan kalian ke saqar ? mereka menjawab: Kami dahulu tidak termasuk mushallin. Tidak memberi makan orang miskin. Kami membicarakan kebathilan bersama orang–orang yang membicarakanya dan kami mendustakan hari pembalasan”
Gambaran tersebut diberikan kepada Ashab al–Yamin di syurga yang bertanya kepada mujrimun, apa yang membawa mereka ke neraka? mereka menjawab: Karena kami tidak menerima Islam secara teoritis maupun praksis, menyangkal eksistensi Alloh hingga kami memutus hubungan dengaNya (لم نك من المصلين), tidak mengakui adanya Hari Akhir (وكنا نكذ ب بيوم الد ين), tidak berperilaku yang bermanfaat bagi mereka ( لم نك نطعم المسكين), tetapi kami berperilaku buruk dan merusak ( وكنا نخوض مع الخا ئضين) meyakini hanya terhadap yang kasat mata dan mungkir terhadap yang tidak tampak.
Jadi, dengan pengertian tersebut kata mushallin, menurut Syahrur bukanlah orang yang mendirikan shalat karena menurutnya jika merujuk pada tanzil Hakim, tidak akan ditemukan penyebutan mushallin untuk orang yang mendirikan shalat. Ini dari satu sisi di sisi lain, meninggalkan shalat ataupun puasa tidak ada kaitanya dengan iman kepada Alloh dan Hari Akhir .
Selain atas dasar argumen tersebut, menurut Syahrur -yang menganggap ada persamaan besar antara surat al-Ma’un dan al-Mudatsir- terkait dua hal,yaitu:
1. Firman Alloh dalam Q.S al–Mudatsir : 26, sauslihi saqar. Yang dimaksud adalah Walid Ibn al–Mughirah yang menyombongkan diri ketika mendengar al–Qur’an dan mengatainya sebagai sihir yang berasal dari perkataan manusia.
Dalam istilah Qur’ani, Walid Ibn al–Mughirah termasuk yang kafir terhadap eksistensi Alloh, mengingkari Hari Akhir dan Hari Kebangkitan, karenanya Alloh akan mengantarkanya ke Neraka Saqar. Menurut Syahrur terlalu dangkal, mengatakan faktor yang menyebabkan Walid masuk neraka adalah karena ia tidak termasuk orang yang menegakan shalat, sebab shalat tidak terhitung sebagai kriteria yang dapat menggolongkan manusia sebagai mujrim atau bukan.
2. Q.S al–Mudatsir dan al–Ma’un termasuk surat Makiyah, sementara salat diturunkan di Madinah. Bagaimana bisa diterima, anggapan bahwa Walid telah meninggalkan sesuatu yang saat itu belum dibebankan, bahkan lebih jauh menganggapnya sebagai salah satu sebab masuknya ke neraka. Perlu diketahui, saat itu belum ada sahabat yang menjalankan shalat.
Dalam konteks ayat ini yang membicarakan tentang Walid Ibn Mughirah, menurut Sayhrur sebab disiksanya Walid Ibn Mughirah dengan dimasukan ke Neraka Saqar bukan lantaran dia menyia-nyiakan ritus shalat, tapi dimasukanya Walid Ibn Mughirah ke Neraka Saqar itu disebabkan karena dia telah memutus hubungan dengan Alloh ( لم نك من المصلين) artinya dia telah kafir dan orang kafir tidak perlu ditanya lagi mengenai dosa-dosanya karena dengan tidak meyakini eksistensi Alloh ini telah cukup sebagai tiket perjalanan ke neraka tanpa membutuhkan timbangan atau perhitungan. firman Alloh dalam surat an-Nisa ayat 48: “Sesungguhnya Alloh tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni dosa selain syirik itu bagi siapa saja yang dikehendakiNya”.

PARADIGMA KRITIS DEKONTRUKSI KITAB SUCI
Oleh:Muhamad Najib Aulia Zaman

Ilmu pengetahuan mendasarkan pada akal manusia melaui proses berfikir dan pengalamanya, maka manusia dapat memperoleh kebenaran dengan bertahap yang selanjutnya dapat diaplikasikan dalam kehidupan. Namun sebenarnya belum dikatakan ilmu jika belum teruji kebenaranya. Ilmu pengetahuan oleh sebagian filosof dianggap sebagai hal yang berawal dari sikap skeptis seseorang terhadap sesuatu. Dengan sikap skeptis itu seseorang berusaha mencari jawaban atas keraguanya yang kemudian lahirlah sebuah kerangka teori yang selanjutnya tersusun menjadi sebuah disiplin ilmu.
Sedangkan ilmu sendiri merupakan pengetahuan yang tersusun secara sistematis dari hasil pemikiran manusia yang diperoleh malalui pengalaman, penelitian dan observasi, kemudian pertanyaan yang muncul adalah bagaimana dengan ilmu-ilmu keislaman yang mendasarkan diri pada wahyu yang kebenaranya bersifat mutlak. Apakah dalam penggalian ilmu-ilmu dalam wahyu (al-Qur’an) perlu juga mendasarkan pada sikap skeptis terhadap wahyu yang dengan begitu berarti kita mempertanyakan keyakinan kita sendiri atau bisa dikatakan bahwa kita belum mengimani sepenuhnya terhadap keberadaan al-Qur’an beserta kandunganya yang nota bene menjadi sumber hukum Islam paling utama?
Sebagai jawabanya kita perlu memahami terlebih dahulu bahwa sebenarnya al-Qur’an sebagai wahyu Alloh SWT bukanlah sebuah kitab yang berisi teori, proporsi maupun sebagai kitab undang-undang. Namun, al-Qur’an diturunkan sebagai hudan atau petunjuk bagi manusia yang di dalamnya terkandung perintah dan larangan dari Alloh SWT. Jadi, disini jelas bahwa apa yang ada dalam al-Qur’an itu tidak perlu diragukan lagi. Hanya saja kita perlu bersikap kritis terhadap ilmu-ilmu keislaman yang ada saat ini terutama ilmu-ilmu yang lahir dari hasil pemikiran manusia (ijtihad ) karena dalam lingkup kajian keislaman memang sangat dituntut validitas dan kredibilitasnya. Sebagaimana yang dilakukan beberapa mufasir kontemporer saat ini yang mencoba melakukan pembacaan ulang terhadap ayat-ayat kitab suci dengan pendekatan yang beraneka ragam dari mulai pendekatan sejarah, filsafat, hermneutika, linguistic dan sebagainya yang dengan mendasarkan pada sebuah pemahaman bahwa melakukan pembacaan ulang terhadap kitab suci mutlak dilakukan demi menjawab persolan-persoalan yang dihadapi saat ini artinya bahwa penafsiran berdasarkan konteks menurut mereka sangatlah dibutuhkan mengingat realita yang terjadi saat ini jauh berbeda dengan realita masa lalu, meskipun harus menentang arus (baca: berseberangan) dengan alur pemikiran mainstream yang kebanyakan masih memegang teguh pada pemahaman teks atau merasa tabu untuk melakukan kritik terhadap pembacaan teks yang sudah ada yang banyak dilakukan oleh ulama-ulama klasik..
Argumen semacam ini memang cukup logis dan relevan hanya saja dalam melakukan pembacaan terhadap kitab suci harus mengikuti kaedah yang berlaku meskipun dengan metode yang berbeda-beda asal tidak menyimpang dari substansi pesan wahyu sah saja untuk dilakukan.Hal ini tentunya juga tidak hanya didasari semangat pembaharuan atau penanaman paham baru saja, namun lebih pada semangat untuk menggali élan dasar atau pesan moral yang terkandung dalam kitab suci sehingga kitab suci benar-benar bisa menjadi pegangan hidup manusia yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Sehingga perlu melakukan upaya penafsiran yang bisa menjawab persoalan umat disesuaikan dengan kondisi yang sedang dihadapi karena kitab suci bagaimana pun adalah kalam Tuhan yang berlaku sepanjang zaman. Ketika zaman mengalami akselerasi (perubahan), maka pemaksaan terhadap teks tidak bisa dibenarkan sehingga butuh adanya pembacaan ulang dari kitab suci dan tentunya dalam wilayah yang memang kita tidak diperkenankan untuk mengelaborasinya yang itu sudah menjadi otoritas Tuhan (Syariah).
Namun yang perlu kita perhatikan dari adanya semangat pembacaan ulang ini adalah jangan sampai kita terjebak oleh tawaran-tawaran metode penafsiran yang sama sekali tidak mengindahkan kaedah-kaedah penafsiran karena bisa jadi beberapa penafsiran yang ada saat ini merupakan penafsiran “pesanan” entah atas nama kekuasaan, mempertahankan status quo, politik, popularitas atau mungkin hanya upaya penyesatan yang berujung pada pemurtadan. Baik itu dilakukan secara sadar atau tidak yang pasti agama tidak bisa menjadi alat untuk melegitimasi suatu kepentingan pribadi atau golongan.
Kalau kita membaca beberapa literatur hasil karya para mufasir kontemporer saat ini memang sebagian ada yang memberikan alternasi jawaban agar kita lebih mudah dalam menangkap pesan-pesan kitab suci namun tidak jarang pula beberapa pemikiran mufasir yang cenderung membingungkan dan banyak memunculkan kontroversi. Bahkan malah menyesatkan meskipun penilaian sesat atau tidak sesat itu bukan otoritas kita karena kebenaran hanya milik Tuhan namun yang jelas pemikiranya tersebut telah memberikan pengaruh munculnya keraguan terhadap apa yang selama ini kita yakini.
Alangkah baiknya kita juga mengenali latar belakang dari para mufasir tersebut agar kita bisa mengetahui kapasitas mereka sekaligus menilai apakah mereka memang memiliki kompetensi untuk menafsirkan kitab suci. Karena bisa jadi, seseorang menafsirkan kitab suci karena didorong oleh semangat menanamkan akidah baru yang justru bertentangan dengan kandungan kitab suci itu sendiri. Tidak sedikit mufasir yang harus menukarkan buah pemikiranya dengan pengasingan, penahanan, bahkan nyawa sekalipun karena penafsiranya dianggap menyimpang dari pemikiran mainstream para ulama. Terlepas dari penilaian tersebut yang pasti melakukan penafsiran yang serampangan tidaklah dibenarkan karena kitab suci bukanlah kitab biasa yang bisa seenaknya untuk diputar balikan.
Ada sederet nama yang muncul belakangan ini yang mengaku memiliki pendekatan yang relevan untuk bisa diterapkan dalam melakukan pembacaan terhadap kitab suci. Diantaranya seperti Nasyr Hamid Abu Zaid, ‘Abid al Jabiri, Abdullah Ahmad Na’im, Muhammad Arkoun, Muhammad Syahrur, Muhammad Ahmed Thoha, Fazlurrahman, Fatima Mernisi dan masih banyak lagi. Meskipun ada dari sebagian deretan nama tersebut yang latar belakang keilmuanya di bidang tafsir masih dipertanyakan sehingga wajar jika kemudian dari beberapa pemikiran tokoh-tokoh tersebut juga dipertanyakan validitasnya bahkan kemudian menjadi sebuah kontroversi. Dari buah pemikiran yang mendapat pertentangan itu menjadikan mereka harus rela menelan pil pahit diperlakukan tidak menyenangkan seperti yang dialami oleh Nasr Hamid Abu Zaid yang diusir dari tempat kelahiranya dan dipaksa untuk berpisah dengan istrinya karena pemikiranya yang dianggap terlalu berani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar