`SEPUTAR WACANA PLURALISME BERAGAMA[1]
Oleh: Muhamad najib Aulia Zaman
Menyimak wacana keberagamaan di Indonesia memanglah sangat menarik. Hal ini paling tidak dilihat dari fenomena keagamaan yang beragam dari yang tradisionalis, liberal, pluralis bahkan yang sinkretis belum lagi ditambah aliran-aliran lain yang memilki visi pembaharuan, pemurnian dan sebagainya. Dari berbagi ragam pemahaman dan dinamika yang menyelimutinya tentunya tidak lepas dari adanya klaim kebenaran dari masing-masing kelompok tersebut. Sehingga tidak jarang terjadi pertentangan-pertentangan yang tidak hanya berupa ghazwul fikri (perang pemikiran) saja tetapi sudah sampai pada pertentangan fisik. Seperti kasus penyerangan terhadap Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Berkeyakinan dan Beragama (AKKBB) oleh anggota Front Pembela Islam (FPI) di silang Monas beberapa waktu yang lalu. Peristiwa tersebut bermula dari adanya rencana pemerintah untuk membubarkan Ahmadiyah yang dinilai telah menodai ajaran agama Islam dan dianggap sesat oleh MUI. Sebagaimana diketahui, dalam faham Ahmadiyah dikenal adanya keyakinan bahwa masih ada Rosul setelah Nabi Muhammad SAW yakni Mirza Ghulam Ahmad yang berasal dari India bahkan mereka juga memiliki kitab suci sendiri yang dinamai kitab Tadzkirah. Dari pemahaman yang seperti ini kemudian muncul desakan kepada MUI untuk segera mengeluarkan fatwa sesat dari aliran tersebut sekaligus membubarkanya. Keputusan tersebut mendapat berbagai tanggapan dari berbagai kalangan termasuk salah satunya adalah dari kelompok AKKBB yang secara tegas menolak dibubarkanya Ahmadiyah karena menurut mereka setiap warga negara berhak untuk menganut ajaran agama sesuai dengan kepercayaannya masing-masing sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang. Di samping itu Undang-Undang juga telah memberikan hak untuk hidup dan mendapat perlindungan bagi semua warga Negara Indonesia tanpa melihat agama apa yang diyakini. Hal inilah yang kemudian memicu terjadinya penyerangan oleh anggota FPI yang dikenal paling keras menyuarakan agar segera dibubarkanya aliran Ahmadiyah karena menurut mereka aliran tersebut sesat sebagaimana yang difatwakan MUI dan telah banyak meresahkan masyarakat. Sehingga perlu tindakan tegas untuk segera membubarkanya termasuk yang mencoba untuk melindungi Ahmadiyah juga harus dilawan.
Ini hanyalah satu dari beberapa kasus yang ada di Indonesia yang membuktikan bahwa perbedaan pemahaman telah memunculkan sekian konflik. Meskipun sejatinya jika kita mau merunut sejarah perbedaan aliran ataupun pemahaman suatu agama itu telah muncul sejak masa khulafa’urrosyidin terutama pada masa kekhalifahan Ali. Berawal dari keputusan Ali untuk menerima tahkim dari golongan Muawwiyah dalam perang Siffin telah menjadikan sebagian pengikutnya kecewa dengan keputusan tersebut karena dianggap tidak menerapkan hukum Alloh tetapi malah memilih untuk mengambil jalan sendiri dengan mau untuk diajak damai. Sehingga bagi golongan yang tidak senang dengan keputusan tersebut memilih untuk keluar dari golongn Ali yang kemudian dikenal sebagai golongan kwarij yang artinya keluar sedangkan golongan yang masih mendukung Ali dinamakan golongan Syiah. Pada perjalananya kedua golongan ini tidak pernah bisa bersatu bahkan selalu bermusuhan. Jika Syiah mengatakan A maka khawarij pasti akan mengatakan B begitu juga sebaliknya.
Namun yang terpenting dari semua itu adalah hendaknya kita mau belajar pada sejarah yang ternyata segala bentuk kekerasan meskipun atas nama agama selamanya tidak akan memberikan manfaat dan justru malah banyak merugikan bagi pihak yang terlibat. Sehingga alangkah baiknya jika setiap umat beragama ataupun yang seagama tetapi berbeda paham memiliki rasa solidaritas, menjunjung nilai-nilai persaudaraan dan sikap toleransi yang tinggi. Alangkah bahagianya jika kita bisa hidup berdampingan dengan golongan lain tanpa memperdulikan ideologi yang dianutnya. Kita bisa melihat bagaimana nilai-nilai kebersamaan telah dijalankan oleh Rosul dalam kehidupan bermasyarakatnya ketika beliau tinggal di Madinah. Dimana antara umat muslim dengan umat yang lain bisa hidup damai yang minoritas pun tidak pernah merasa khawatir dan merasa aman hidup bersama orang yang penduduknya mayoritas muslim. Hal inilah yang kemudian memunculkan sebuah gagasan tentang perlunya pengembangan wacana mengenai pluralisme yang memang akhir-akhir ini banyak diperbincangkan. Pemahaman mengenai sikap beragama yang menekankan pada aspek universalitas dimana kebenaran bukanlah milik satu umat atau golongan tertentu ini bukan tanpa tantangan. Berbagai tanggapan pun muncul terutama dari kelompok fundamentalis meskipun tidak sedikit pula dari kelompok tradisionalis maupun modernis. Bagi mereka Islam adalah agama yang paling benar agama yang haq sehingga tidak bisa disejajarkan dengan kepercayaan agama lain. Menurut mereka orang yang telah menganggap bahwa setiap agama itu memiliki nilai kebenaran (sama) berarti dia juga telah mengakui kebenaran agama lain termasuk yang mengakui adanya Tuhan yang tiga (trinitas). Padahal telah disebutkan dalam al-Qur’an bahwa orang yang telah menyekutukan Alloh dia adalah kafir dengan begitu apakah sama antara Islam dengan kafir? Jika demikian bagaimana dengan usaha Rosul dan para shoabatnya yang berusaha untuk memperluas wilayah kekuasaan Islam meskipun harus berperang dengan orang kafir bukankah semua itu dilakukan dalam rangka mengenalkan bahwa hanya agama Islamlah agama yang paling benar, yang haq di sisi Alloh (Innaddina ‘indallohil Islam)?Jika kita masih mempertanyakan tentang kebenaran Islam berarti kita belumlah iman sepenuhnya karena dalam pengakuan rukun Islam yang pertama tidak cukup hanya sebatas ucapan lisan saja tetapi yang terpenting adalah pengakuan dalam hati dengan sepenuhnya. Bagaimana bisa dikatakan iman sepenuhnya jika masih mempertanyakan kebenaran Islam, bahwa kebenaran tidak sepenuhnya milik Islam dengan mengakui kebenaran agama lain termasuk yang mengakui adanya Tuhan selain Alloh.
Sedangkan bagi mereka yang mengakui bahwa pluralisme dalam beragama adalah sebuah keniscayaan menganggap bahwa kebenaran tidak hanya milik Islam saja, bahwa Islam yang terbungkus oleh formalitas seakan menafikan kebenaran pihak lain yang sebenarnya memiliki kedudukan yang sama dihadapan Tuhanya karena yang membedakan antara makhluk satu dengan yang lainya adalah ketakwaanya. Jadi, setiap manusia dari golongan manapun memiliki peluang yang sama untuk mendapat balasan kebaikan selama mau melakukan sesuatu yang memiliki nilai kebenaran. Tidak peduli dia beragama apa, dari golongan mana yang jelas manusia memiliki pilihan dan ketika pilihan itu jatuh pada sikap untuk berbuat kebaikan (amal sholeh) di dunia maka tidak perlu ada kekhawatiran baginya, karena balasan akan kebaikan itu akan pasti ada. Begitu kira-kira pandangan dari kelompok yang berpandangan bahwa pluralisme dalam beragama adalah sebuah keniscayaan.
Terlepas dari perbedaan pandangan tersebut, disini perlu adanya pemahaman yang bisa mendamaikan keduanya sehingga kita tidak terjebak pada sikap chaovanistik (menganggap dirinyalah yang paling benar) yang justru hanya akan memperkeruh sikap keberagamaan umat terlebih jika kita sama-sama sebagai umat Islam. Dalam hal ini memang perlu adanya dialog yang bisa memberikan sikap saling pengertian yang tentunya dalam menyatakan sikapnya harus memberikan argumen yang jelas dan berdasar. Dan hemdaknya juga tidak hanya memandang suatu permasalahan dari satu sudut pandang saja tetapi harus dengan sikap yang obyektif.
Sebagai umat Islam yang mana telah kita kenal adanya sebuah kesaksian terhadap adanya Tuhan Yang maha Esa dan bahwa Muhammad adalah utusan-Nya sebagai wujud pernyataan sikap beragama yang sudah tidak bisa ditawar lagi., karena semua itu adalah sebuah mnanifestasi paling fundamental kita selaku umat Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar