Oleh: M.Najib Aulia Zaman
Maraknya berita tentang isu penyadapan akhir akhir ini mengajak kita untuk merenung dan berpikir sejenak tentang betapa kita benar benar telah berada di dunia tanpa sekat. Dunia yang seakan ingin menandingi otoritas Tuhan dalam hal pengawasan ( tentu itu adalah hal yang mustahil) dilakukan manusia.
Tapi isu penyadapan oleh suatu negara ke negara lain dimana setiap aktifitas, gerak dan percakapan seseorang (baca: pejabat negara) bisa terekam dan terpantau melalui alat tekhnologi komunikasi yang sangat
canggih merupakan tanda bahwa tingkat perkembangan pengetahuan manusia begitu luar biasa meski harus diikuti sikap kewaspadaan.
Tekhnologi mengambil peran dengan kemampuanya melumpuhkan sebuah kekuasaan. Runtuhnya kekuasaan negara seperti yang terjadi di Libyia, Suriah atau Mesir juga tidak lepas dari peran tekhnologi.
Jadi kalau sekarang presiden kita memanfaatkan tekhnologi untuk berbagi atau menerima informasi (dalam hal ini media sosial), itu hal yang wajar karena merupakan sebuah tuntutan. Hanya saja persoalanya apakah pemanfaatanya sudah tepat dalam kapasitasnya sebagai seorang kepala negara?
Sebagaimana kita ketahui bahwa presiden SBY saat ini telah memiliki akun Facebook dan Twitter. Tidak tahu pasti apakah tujuanya untuk membagikan informasi yang menyangkut kepentingan rakyatnya, mengetahui kebutuhan rakyatnya dan memudahkan masyarakat untuk mengadu kepadanya atau sekedar untuk sarana pencitraan. Tapi yang pasti banyak yang menyayangkan kalau presiden kita lebih banyak bergalau ria di media sosial miliknya. “Presiden kok galau” begitu kira kira komentar yang sempat terlontar.
Ada yang mengatakan bahwa syarat mutlak sebuah negara dicintai adalah ketika negara tersebut mampu melayani dan menjamin kebutuhan dasar setiap warganya. Bagiku sama halnya syarat bagi seorang pemimpin negara bagaimana ia akan dicintai dan dihormati manakala ia mampu melayani dan mengabdikan diri pada rakyatnya. Maka apa jadinya jika seorang presiden yang seharusnya memberi motivasi, semangat dan memberikan kenyamanan serta ketentraman bagi rakyatnya justru terjebak dengan aneka keluh kesah?
Maka akan sangat wajar jika rakyat tak lagi mencintai pemimpinya ketika ia tak lagi melayani rakyatnya dengan memberikan rasa nyaman. Yang ada hanya berkeluh kesah, mencari celah pembenaran dan mulai gusar ketika dijadikan sasaran kritikan. Alih alih berbenah diri pasang badan mengakui kekurangan, justru kemarahan yang ditunjukan. Merasa gagal melakukan pencitraan, lari menumpahkan kegalauan di media sosial yang penuh dengan kapalsuan.
Aduh bapak, negeri ini tidak butuh curhatan yang semua orang sudah kenyang dengan dinamika kebodohan. Bagi kami ketegasan dan tindakan nyata mensejahterakan rakyat yang telah lama didambakan lebih berarti ketimbang mencari simpati. Kenapa tidak bapak saja yang mendengarkan keluhan kami, rakyat kecil yang telah lama menjadi kuli di negeri sendiri. Negeri yang tanahnya subur ini, negeri yang alamnya kaya ini, negeri yang dulunya menjadi penopang ekonomi perdagangan dunia dengan aneka ragam rempah rempahnya. Ah,mungkin bapak lupa ketika kita semua belum mengenal tekhnologi, armada laut kita telah mengelilingi dunia, berlayar mengarungi samudra, bertransaksi dagang membawa banyak keuntungan.
Dengan adanya tekhnologi saat ini harusnya memberi kemudahan bagi semuanya, tak perlu berlayar mengarungi samudra cukup berselancar di depan layar karena dunia sudah ada di genggaman tangan. Tapi apalah artinya jika sumber daya manusia kita tidak diberi pengetahuan tentang itu, dari dulu kita hanya dijejali dengan hafalan hafalan. Jadinya kita gagap menghadapi setiap perkembangan yang ada tak terkecuali perkembangan tekhnologi. Pendidikan kita yang masih cenderung mekanis, mengesampingkan celah kreatifitas dan menutup ruang nalar kritis sehingga tidak banyak melahirkan inovasi termasuk di bidang tekhnologi. Akhirnya tekhnologi menjadi “makhluk” asing yang kita tidak tahu bagaimana harus memperlakukanya. Tak ayal jika yang terjadi saat ini tekhnologi hanya sebatas dijadikan sebagai pelengkap kosakata dalam kamus ilmiah yang masih jarang dikenalkan di sekolah.
Maka, tak perlu marah ketika negara kita bisa disadap dengan mudah karena memang begitulah pengetahuan kita tentang bidang itu masih rendah sehingga pertahanan kita menjadi lemah. Tapi bukan lantas kemudian kita pasrah, justru dengan keadaan itu kita harusnya mulai berbenah. Tak apalah untuk saat ini kita kalah asal kita tidak kehilangan arah. Bagaimanapun hebatnya tekhnologi, kuasa Tuhan di atas segalanya.
Sebenarnya kalau kita selaku umat beragama yang memiliki keimanan, tak perlu kita mengandalkan tekhnologi yang canggih untuk bisa menyaingi mereka. Cukup dengan kesucian dan kebeningan hati maka kita akan lebih memiliki kepekaan. Terlebih seorang pemimpin, dengan kebeningan hatinya dia akan diberi tingkat “waskita” yang lebih sehingga mampu “menyadap” Tuhan menangkap cahaya kebenaran yang tertuang dalam kalam dan sabda alamNya. Memang dengan tekhnologi semuanya menjadi mudah tapi tanpa agama semuanya tak akan indah. (Gbrl)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar