INDONESIA DI TENGAH MEDAN IDENTITAS
Oleh : M.Najib Aulia Zaman
“Hanya bangsa yang sadar sejarah dirinya yang mampu menentukan tujuan dari bangsa tersebut” (Pramoedya Ananta Toer).
Pergerakan roda sejarah bangsa Indonesia belum sepenuhnya mampu menjawab akan cita-cita bangsa Indonesia menuju bangsa yang berkeadilan. Jika kita menengok sejarah, bagaimana awal berdirinya bangsa ini dengan ditandai adanya gerakan perlawanan terhadap kaum kolonialis dengan darah dan perjuangan, namun tetap saja konflik, diskriminasi, eksploitasi masih mewarnai perjalanan negeri ini. Demikian halnya dengan problem-problem sosial yang lain seperti kemiskinan, kebodohan, degradasi moral yang berujung pada kriminalitas adalah dinamika yang tak terbantahkan.
Namun demikian, bukan berarti bangsa ini kosong akan nilai-nilai peradaban karena sejarah telah mencatat bagaimana para Founding Fathers kita telah melakukan sebuah langkah untuk menyatukan bangsa Indonesia yang memiliki ragam kultural dan pluralitas yang
sedemikian rupa menjadi sebuah bangsa yang berdaulat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan dasar negaranya Pancasila. Sebagaimana kita tahu bahwa perumusan dasar negara melalui proses yang panjang dan penuh pertimbangan, tidak sekali jadi (instan). Karena pada waktu itu ada sebuah landasan pemikiran bahwa kemajemukan bangsa Indonesia haruslah menjadi dasar pertimbangan agar cita-cita integrasi bangsa bisa terwujud.
Pancasila menjadi pandangan hidup masyarakat Indonesia mencerminkan nila-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan keadilan. Meskipun, sempat terjadi tarik ulur dalam pembahasan perumusan dasar negara tersebut terutama pada sila pertama, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, yang pada awalnya berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Namun demikian, karena pertimbangan demi tegaknya persatuan dan kesatuan, maka disepakatilah penghapusan tujuh kata tersebut (dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya ). Penghapusan ini tidak dapat dikatakan sebagai bentuk kekalahan umat Islam yang harus dibalas ketika waktunya tiba, tetapi itu merupakan bentuk kebesaran hati dan ketajaman visi dari kalangan founding fathers kita untuk membangun sebuah cita-cita kebangsaan yang inklusif. Sehingga Republik Indonesia yang memiliki dasar Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, dan menjalankan prisip-prinsip demokrasi sudah menjadi konsensus dari seluruh elemen negeri ini, maka dengan pilihan tersebut Indonesia bukanlah Negara Islam, meskipun penduduknya mayoritas muslim. Dengan demikian, maka memberikan perlindungan dan menjamin hak-hak setiap warga negara adalah sebuah keharusan dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, sehingga tidak ada sekat antara kelompok minoritas dan mayoritas.
Hal ini menjadi bukti bahwa upaya membangun sebuah peradaban yang menjunjung nilai kemanusiaan telah ada sejak republik ini berdiri. Hanya saja, terkadang masih ada juga yang belum memahami dan belum bisa menghayati arti yang terkandung dalam lima asas dalam Pancasila tersebut sehingga pertentangan dan bibit-bibit konflik masih bertebaran di negeri ini. Sikap yang tidak mencerminkan nilai-nilai yang ada dalam pancasila atau mungkin malah bertentangan adalah suatu sikap yang menciderai hasil karya para tokoh bangsa yang memiliki semangat membangun demi terwujudnya bangsa yang adil dan makmur.
Hari ini, kehidupan masyarakat dan politik kita dihadapkan pada sebuah paradoks : modernisasi di berbagai bidang kehidupan termasuk dalam pemikiran keagamaan yang terus berlanjut ternyata justru menghasilkan sikap yang jauh dari hakekat peradaban modern itu sendiri.
Kehidupan masyarakat bangsa akhir-akhir ini diwarnai oleh berkembangnya fanatisme keagamaan yang berlebihan, tumbuhnya pemikiran keagamaan yang tertutup dan cenderung overclaiming, merasa sebagai kelompok yang paling benar dan paling penting. Maraknya pemikiran dan gaya hidup yang berorientasi pada simbol, prosedur dan formalisme. Sikap keberagamaan yang demikian ini pada akhirnya hanya akan melahirkan pemahaman yang esklusif dan intoleran sehingga melupakan nilai kemanusiaan seperti yang terkandung dalam asas Pancasila.
Di sisi lain, budaya modern telah menggerus semangat kebangsaan yang ditandai dengan telah bergesernya nilai-nilai ataupun tatanan yang ada dalam masyarakat sehingga sikap hidup yang pragmatis, permisif, konsumtif dan matrealistik adalah sebagian cerminan dari sikap masyarakat kita sekarang. Sementara itu arus neo-liberalisme semakin memperkeruh tata perekonomian dengan adanya kebijakan pasar bebas yang secara langsung memperlemah bangsa-bangsa sedang berkembang seperti Indonesia. Salah satu pokok kebijakan kaum neo liberal adalah adanya “Privatisasi’ atau “swastanisasi” yang mana implikasi dari adanya kebijakan tersebut adalah tidak lagi adanya jaminan terhadap kepentingan umum seperti dikuasasinya Badan-badan Usaha Milik Negara yang berhubungan langsung dengan hajat hidup orang banyak juga tidak luput dari kepemilikan pribadi (privatisasi). Hal ini karena mereka (penganut neo liberal) berangkat dari pengandaian “tak ada masyarakat yang ada hanya individu”. Dengan kata lain, tidak ada kepentingan umum, yang ada hanya kepentingan individual. Dan karena individu pertama-tama dipahami sebagai Homo economicus, maka yang menjadi tujuan utama adalah perhitungan akumulasi laba semata.
Kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan kita memang sedang terancam oleh dua arus besar yang menerjang dari kanan dan kiri sekaligus : fundamentalisme agama dan fundamentalisme liberal (ekonomi, politik, dan budaya).
Bangsa Indonesia yang dibangun oleh beberapa tiang penyangga, oleh fundamentalisme agama hendak diganti hanya dengan satu tiang saja, yakni agama. Sedangkan fundamentalisme liberal hendak merobohkan semua tiang itu termasuk ideologi yang dianggapnya sudah tidak penting lagi. Liberalisme adalah satu-satunya tiang yang viable di masa kini dan akan datang.
Kedua fundamentalisme itu cepat atau lambat akan menghancurkan sendi-sendi kehidupan bangsa. Itulah tantangan besar yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Untuk itu agar kita bisa menghadapi dua arus besar yang sedang mengancam itu perlu kita sebagai bagian dari perjalanan sejarah bangsa ke depan sudah saatnya melakukan refleksi menentukan pilihan yang tentunya bisa menjaga dan meneruskan apa yang sudah dicita-citakan oleh para founding fathers kita.
Disusun Oleh : Najib Aulia (PC.PMII Magelang)
Disampaikan dalam rangka diskusi mingguan mahasiswa UTM
Minggu, 8 November 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar