Minggu, 21 Agustus 2011

Mahasiswa : Antara fakta dan Citra[*]



Oleh : M. Najib Aulia Zaman
Mahasiswa merupakan kelompok elit terdidik yang kalau ditempatkan dalam struktur masyarakat kita berada pada posisi yang cukup strategis karena memiliki peran ganda dimana mahasiswa dalam kapasitasnya sebagai bagian kaum intelektual yang diharapkan bisa menjawab setiap persoalan yang dihadapi masyarakat sekaligus juga menjadi aktor dari terwujudnya perubahan yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Hal ini paling tidak terbukti dengan adanya gerakan-gerakan moral yang diusung mahasiswa untuk menyuarakan aspirasi masyarakat sehingga secara tidak langsung mahasiswa telah menjadi bagian dari penyambung lidah rakyat. Sebagaimana kita ketahui dalam sejarah perjalanan bangsa ini juga tidak pernah lepas dari peran mahasiswa dalam rangka menegakan demokrasi menuju tatanan sosial yang lebih baik. Sejarah telah mencatat bagaimana mahasiswa ikut berperan dalam mempertahankan kemerdekaan, menuntut terbentuknya tata pemerintahan baru dari masa orde lama yang pada waktu itu 
system pemerintahanya masih carut marut sampai pada masa orde baru meskipun pada akhirnya terjebak pada hegemoni dari sebuah rezim yang tiran, namun selanjutnya mahasiswa berhasil merebut kembali yang ditandai dengan bergulirnya reformasi pada tahun 1998 sebagai akhir dari kekuasaan orba.
Dari catatan sejarah tersebut telah membangun opini masyarakat akan peran dan kedudukan mahasiswa yang perlu untuk diperhitungkan dalam kancah apapun. Terbukti mereka telah mampu mendobrak kemapanan suatu rezim yang menindas. Sehingga mahasiswa dipandang pantas menyandang gelar agen perubahan dan penyambuing lidah rakyat karena mereka telah berhasil menjadi motor reformasi dan suksesi di Indonesia dan mereka juga tidak punya kepentingan pada relasi kuasa yang terbentuk dalam masyarakat. Ia sosok ideal intelektual bagi sebagian orang, mewakili orang-orang yang sadar pada sejarah dan masyarakatanya. Karena sebagaimana citra yang diberikan masyarakat kepada mahasiswa yakni sebagai kaum intelektual yang nantinya bisa diharapkan peranya untuk bisa menjaga keberlangsungan bangsa Indonesia yang lebih baik dan bisa meneruskan perjuangan generasi tua (Old people).
Gerakan mahasiswa tersebut telah berhasil menggiring masyarakat pada bangunan opini yang cukup menguntungkan. Dari sini kemudian dapat terlihat potret jati diri dari mahasiswa sebagai sosok yang kreatif dalam perilakunya, dan kritis dalam menjawab atau merespon realita yang diahadapinya.
Hal ini didukung dengan posisi mahasiswa yang relative netral dan tidak memiliki kepentinghan dalam konstelasi politik yang sesaat dan sempit. Sehingga wajar jika masyarakat menaruh harapan besar, bahkan cenderung berlebihan.
Namun dari segala pencitraan tersebut hendaknya mahasiswa juga harus bercermin diri sehingga tidak terjebak pada keangkuhan-keangguhan yang tidak berdasar dan apakah anggapan-anggapan itu sepenuhnya benar?
Melihat fakta yang ada hari ini sepertinya masyarakat mulai mempertanyakan peran mahasiswa sebagai bagian dari agent of change dan mempertanyakan komitmen mereka untuk bisa menjawab persoalan yang dihadapi masyarakat. Mengingat orientasi mahasiswa yang saat ini telah mulai bergeser yang tadinya memiliki peran ganda dengan mandat sosialnya menjadi sosok yang hanya berpikir pragmatis demi memenuhi tuntutan realitas pribadinya semata. Mereka tidak peduli lagi dengan keadaan yang terjadi di sekelilingnya, tidak lagi memiliki sense of belonging atau kepekaan mambaca realita yang sedang terjadi karena yang mereka pikirkan hanyalah bagaimana mereka bisa menyelesaikan kuliahnya dan mendapat gelar sarjana demi tuntutan profesioanalitas. Dan sangat disayangkan ketika mereka telah menghadapi kenyataan di luar kampus tidak bisa membangun relasi sosial atau mungkin malah merasa asing dengan lingkungannya karena tidak mau mengasah daya kritisnya sewaktu masih kuliah. Padahal belum tentu juga pengetahuan yang didapat sewaktu kuliah sepenuhnya berangkat dari kenyataan dan kebutuhan yang ada. Sehingga wajar jika mahasiswa tidak mampu lagi menjawab setiap persoalan yang dihadapinya di masyarakat karena ternyata kenyataan yang ada tidak seindah yang diwacanakan di bangku kuliah.
Tidak bisa dipungkiri memang dalam proses membangun kesadaran seseorang seringkali dihadapkan pada tawaran-tawaran realitas di luar diri sebagai sesuatu yang memang tidak bisa dilepaskan apalagi di masa modern seperti sekarang ini yang menuntut adanya profesionalitas dan skill individu yang sedikit banyak telah mengarahkan pada timbulnya budaya pragmatis, individualis, serta mengikis kesadaran sosial.
Lebih memprihatinkan lagi jika melihat fakta hari ini, bahwa mahasiswa yang diharapkan kelak bisa menjadi sosok pewaris kepemimpinan atas bangsa justru manjadi bagian dari problem sosial itu sendiri. Seperti yang marak diberitakan di media massa akhir-akhir ini. Dimana mahasiswa terlibat tawuran, perkelahian, kekerasan di kampus bahkan penggunaan obat-obatan terlarang (narkoba). Ini menjadi cermin buruk dari sebuah institusi kampus yang memiliki peran mencetak generasi penerus dengan pribadi yang berpendidikan, bertanggung jawab, berbudi luhur justru menampilkan beragam potret buram dari tingkah polah mahasiswa itu sendiri.
Sebagai manusia yang sadar akan peran dan tanggung jawabnya tentunya akan senantiasa menjaga stabilitas dalam relasi sosialnya bukan malah menciptakan gejolak yang pada akhirnya malah merugikan diri sendiri. Apalagi seorang mahasiswa yang telah banyak belajar bagaimana membangun pola interaksi dengan mengedepankan nilai-nilai budi pekerti. Untuk itulah perlu adanya sebuah proses untuk mengawali bagaimana kita harus berperan dengan semestinya dalam kapasitasnya sebagai mahasiswa yang peduli dengan lingkungan sekitar. Bagaimana kita harus mensikapi ketika terjadi ketimpangan, ketidak adilan, diskriminasi, eksploitasi dan segala bentuk kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat. Tentunya bukan hal yang mudah untuk bisa menjawab semua itu karena disamping dibutuhkan adanya sebuah kesadaran, komitmen dan kerjasama juga dibutuhkan adanya strategi dan perencanaan. Karena sikap kritis juga belum cukup untuk merespon problem yang ada dan menyusun strategi adalah bagain dari analisa social yang akan mengarahkan pada tujuan perubahan yang jelas. Untuk itulah analisa social mutlak dibutuhkan untuk bisa menjawab permasalahan social yang dihadapi masyarakat.Analisa social adalah suatau usaha untuk mempelajari struktur social yang ada, mendalami institusi ekonomi, polittik, agama, budaya dan keluarga sehingga kita tahu sejauh mana dan bagaimana institusi-institusi itu menyebabkan ketidak adilan social.
Namun yang lebih penting dari semua itu adalah mahasiswa dengan segenap pencitraanya saat ini sedang dihadapkan pada sebuah fakta bahwa mahasiswa bukan hanya sebagai kelompok terdidik yang bisa membangun tatanan social tetapi juga bisa menjadi perusak tatanan social itu sendiri. Dan analisa social sebagai langkah untuk memahami kondisi sekitar bagi kita yang ingin menjalankan mandat social harus didasari dengan komitmen yang kuat. Adakan analisis di lingkungan kita tentang adanya ketidak adilan kemudian menyusun sebuah perencanaan untuk ditindak lanjuti menjadi aksi melawan eksploitasi, pembodohan, dan penindasan rkayat kecil atau mungkin diri kita, mungki juga kampus atau organisasi yang kita terlibat di dalamnya.


[*] Disampaikan dalam Pelatihan Kepemimpinan dan Manajemen II Mahasiswa STIS Magelang. Cempan, 30 Juni 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar