Oleh : M.Najib Aulia Zaman
Segelas kopi tersaji di pagi itu, senin 24 Juli 2006,di atas dipan bambu kita bercengkerama, berbagi rasa akan sebuah cerita kehidupan antara aku dan kamu sahabat yang belum genap seminggu aku kenal. Kau mulai bagikan cerita tentang pahit getir hidupmu, menapaki sejengkal kehidupan yang muram, mendaki terjalnya cobaan, bahkan kau ceritakan sederet kisah dari dunia hitamu dan di pagi itu munculah sebuah pengakuan “bahkan dengan diriku pun aku tak kenal dan nyaris aku pun tak pernah mengenal siapa Tuhanku, aku tidak meyakini adanya Tuhan karena aku tak juga melihatNya”, begitu katamu kala itu. Meski begitu tak sedikitpun kutemukan resah di wajahmu, merasa tak penting untuk mengakui kebodohan itu. Pikirku untuk apa aku harus berlama-lama menemaninya,seorang yang mengingkari keberadaan diri dan Tuhanya sendiri.
Perlahan kuseka tepi cangkir yang hangat yang telah tersaji di depanku untuk sedikit mengurangi rasa dingin yang mendekap tubuhku sembari mencerna celotehanmu yang seakan tanpa sepasi meluncur deras dari mulutmu yang tanpa arah bercampur dengan sisa aroma wisky yang
kau tenggak semalam. “Aku ingin ketemu dengan Tuhanku, tapi aku tak tahu siapa Tuhanku dan dimana DIA,seperti apa wujudnya, benarkah DIA ada?”. Begitu kau mengakhiri ocehanmu.
Aku pun masih terdiam, mencoba merenungkan jawaban yang kiranya pantas untuk pertanyaanya karena aku tahu dia membutuhkan jawaban yang tepat atas semua kegelisahan yang sedang ia rasakan dan jawaban yang terlalu panjang mungkin juga belum tentu dapat ia cerna dengan baik dalam kondisi seperti itu. Aku hela nafas untuk sekedar meyakinkan diri bahwa aku pasti bisa memberikan jawaban yang tepat untuknya. Sudah 20 kali ketukan jariku beradu dengan meja di sampingku sembari merenungkan jawaban yang akan aku berikan, kualihkan perhatianku pada benda-benda di sekelilingku dan sesekali kupandangi wajahnya sebentar agar tidak terkesan mengacuhkan.
“Kamu sedang memikirkan apa?apakah kamu juga belum mengenal Tuhanmu?? Dimana Tuhanmu, adakah Ia?” gumamnya sambil memandang kecut padaku. Kuakui nyaliku ciut setiap kali harus berhadapan denganya terlebih jika ada sesuatu yang dirasa tidak nyaman untuknya. Siapa yang tidak takut berhadapan dengan preman kampung yang sangat ditakuti dan selalu bikin resah warga bahkan tidak ragu untuk melukai siapa saja yang berani membantahnya. Hanya kali ini saja kulihat sedikit ada ketenangan darinya, mungkin dia memang sangat mengharapkan jawaban dariku atas kegelisahanya selama ini.
Karena belum juga kutemukan jawaban yang tepat untuknya, aku bermaksud untuk memberikan jawabanya lain kesempatan. Namun, kekuatan untuk mengutarakan maksud itu nyaris tidak ada, aku takut jika dia marah. Dan tidak berapa lama tanpa sengaja aku melihat seekor nyamuk mendarat di jidatnya, aku tahu ini kesempatan yang baik untuk mengalihkan perhatianya, dengan mengusir nyamuk yang tanpa permisi mampir di jidatnya, barangkali kebaikanku ini nanti akan sedikit meredam emosinya seandainya jawabanku nanti tak memuaskanya, begitu pikirku.
Sejenak aku pasang kuda-kuda, mengarahkan pandangan pada makhluk kecil itu, berharap agar buruanku tidak lekas kabur, maka aku tunggu sejenak agar nyamuk itu benar-benar tidak merasa terusik dengan gerakanku sekecil apapun itu. Tiba saatnya aku harus melayangkan telapak tanganku secepat mungkin agar tidak ada kesempatan sedikit pun nyamuk itu lari dari celah tanganku. “PLAK,,,PLAK…!!!.
Bersamaan itu juga meluncur sederet kata makian,,,Anjing lu,,bangsattttt,,,keparat,,aku bunuh kamu..!!! Sakitt..Tolol…Dengan penuh geram dia menarik kerah bajuku dan dengan tangan kanan mengepal siap untuk melayangkan bogem mentahnya. Kali ini aku benar-benar tak berdaya telah melakukan kesalahan yang amat fatal, tapi aku tetap berusaha untuk menenangkanya, mencoba memberikan alasan yang tepat untuknya karena aku tahu makhluk kecil yang kurang ajar itu berhasil meloloskan diri dari tamparanku. Aku tak tahu lagi harus berkata apa, satu satunya barang bukti untuk meyakinkan niat baiku padanya tidak ada dalam genggaman, terpaksalah aku mencari cari alibi dengan mencoba mengaitkan ulahku tadi dengan pertanyaan yang ia ajukan. “Kau jangan terlalu bernafsu untuk menghajarku sebelum aku jelaskan semuanya,aku sedang memberikan gambaran mengenai pertanyaan yang kau ajukan tadi, jadi tolong lepaskan aku dulu” pintaku memelas.
Setelah emosinya agak surut dan setelah melepaskan genggaman tanganya di kerah bajuku aku mulai memberikan alasan kepadanya.”seandainya engkau paham dengan maksud ulahku tadi engkau sudah mendapatkan jawaban atas pertanyaanmu ”, ujarku sedikit mengalihkan perhatianya, karena aku tahu memang bukan itu sebenarnya tujuan awalku.”Apakah kamu merasakan sakit??”tanyaku padanya.”Apa maksudmu?Apakah kamu sudah gila?, tentu saja sakit” jawabnya masih dengan nada marah.” Kalau kau merasakan sakit, tolong tunjukan rasa sakit itu, perlihatkan kepadaku wujud rasa sakit itu,adakah ia?seperti apa bentuknya rasa sakit itu?”sedikit dia mulai mengerti arah pertanyaanku ini, sejenak dia termenung mencoba memahami maksud kata-kataku. “Begitulah halnya dengan Tuhan, kita hanya bisa merasakan keberadaaNya, dan cukup merasakan kehadiran-Nya jadi kita patut meyakini keberadaaNya tanpa perlu tahu seperti apa wujud Tuhan itu, yang pasti DIA dekat dengan kita, lebih dekat dengan urat nadi kita”, sambungku membantu memecahkan kebingunganya.”Benar katamu,aku mengerti sekarang, tapi bisakah kau memberikan alasan untuk bisa lebih meyakinkanku, kenapa kita tetap tidak bisa melihatNya, meski DIA dekat dengan kita?sebagaimana yang kau katakan tadi”ujarnya seakan belum yakin atas jawabanku tadi.”Apakah kau mau wajahmu kusiram pasir hingga matamu kelilipan?”, tanyaku mencoba mecarikan alasan yang lain.”Tentu saja tidak, tapi apa hubunganya mata kelilipan dengan pertanyaanku tadi”, timpalnya penuh penasaran.”saat kau kelilipan, bisakah kau melihat pasir atau kerikil yang ada di bola matamu?tidak bisa bukan?padahal ia sangat dekat dengan pandanganmu”,kataku memberikan penjelasan. Kali ini ia benar-benar mengerti apa maksud perkataanku, sesaat kemudian ia tertunduk seakan ada sesuatu yang sedang ia sesali. “selama ini aku seperti ikan yang hidup di tengah lautan, menanyakan keberadaan air, seperti apa wujud air itu yang kata orang, air itu sangat penting dalam kehidupan, mustahil ada kehidupan tanpa adanya air, setiap hari ikan itu bingung, ingin sekali ia bisa melihat air, benda seperti apakah ia, seindah apakah ia, sehingga banyak makhluk hidup yang membutuhkan dan mencarinya” ujarnya lirih sambil menundukan pandanganya ke bawah.”kemudian suatu saat datang gelombang besar yang menyapu semua benda di dasar laut menuju daratan tak terkecuali ikan tadi, tubuhnya terpental jauh ke daratan, dengan bersusah payah ia berusaha menghindari terjangan ombak berikutnya, dengan menggelepar ia berhasil menjauh dari bibir pantai, kemudian dilihatnya air yang bergulung itu dari kejauhan, lantas ia berteriak kegirangan karena kini dia bisa menemukan dan melihat air, ia mencoba mendekat sambil berteriak air,,air,,air,,engkaukah itu??tapi naas energinya telah terkuras habis, ia terlambat dan tak sanggup lagi bernafas kemudian mati sebelum sampai menuju air yang sebelumnya ia hidup di dalamnya ”, ucapnya melanjutkan cerita.
Aku sudah merasa lega, ternyata jawabanku bisa diterimanya “ya sudah, kalau kau tidak ingin seperti ikan sebagaimana yang kau ceritakan tadi lekaslah kau menghadap Tuhanmu, mintalah ampunan pada-Nya sebelum terlambat” ujarku memberikan semangat. “baiklah terimakasih, aku bertekad untuk menjadi lebih baik sekarang dan sekarang aku yakin bahwa Tuhan itu ada, aku akan menuju masjid, mengambil air wudhu dan mendekatkan diri kepada-Nya, aku akan bertobat” pungkasnya penuh semangat “Baiklah,,masjid ada di seberang jalan sana,hati-hati”jawabku sambil menerima ajakan pelukanya.
Selang beberapa menit…..
SRRRETTTTT,,,,DARRRR,,,,,!!!!!! Sebuah truk tronton menghantam tubuhnya saat menyeberang jalan menuju masjid, tubuhnya terpental jauh, terkapar bersimbah darah, hanya gerakan kecil dari tanganya seakan ingin meraih sesuatu dari arah masjid sebelum nyawanya melayang…..INNALILLAHI WA INNA ILAIHI ROJI’UUN.
My Bedroom, Wednesday, August,24,2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar