Senin, 24 September 2012

RELEVANSI BUDAYA LOKAL TERHADAP PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA

Oleh : M.Najib Aulia Zaman

Sejarah perkembangan Islam di Indonesia mengiringi dinamika sosial masyarakat yang memiliki tradisi yang cukup beragam. Realita ini seakan menjadi bagian yang tak terpisahkan untuk memahami karakter atau wajah Islam Indonesia hingga saat ini. Sehingga Islam yang dianut oleh masyarakat Indonesia memiliki corak yang khas yang selalu bersentuhan dengan budaya lokal. Sedangkan Islam sendiri mengajarkan tentang sikap toleransi dan terbuka terhadap budaya yang ada sepanjang tidak bertentangan atau melangggar aturan Islam. Hal ini menjadi jawaban bahwa agama Islam adalah agama yang dinamis yang bisa diterima oleh semua lapisan masyarakat tanpa harus menggunakan cara-cara konfrontatif yang mana Islam sendiri mengakui adanya sikap tidak ada paksaan dalam beragama.
Universalisme dalam ajaran Islam tentang pengakuan hak-hak manusia, sikap toleran dan menghargai setiap perbedaan adalah nilai-nilai yang senantiasa diperkenalkan oleh para ulama pembawa risalah Islam di bumi Nusantara ini. Sehingga Islam menjadi agama yang 
bisa dengan mudah diterima oleh masyrakat, meski di tengah menguatnya sensitivitas budaya yang ditunjukan dengan adanya pembagian kelas antara ningrat atau “darah Biru” dengan rakyat jelata pada waktu itu. Hal ini dikarenakan, sebagaimana yang kita ketahui, bahwa sebelum datangnya Islam ke Indonesia, masyarakat kita telah menganut ajaran Hindu dan Budha yang mengakui adanya sistem kasta. Sehingga hal ini juga berpengaruh terhadap perkembangan ajaran Islam yang lebih mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dengan menolak setiap bentuk diskriminasi dari adanya pembagian kelas berdasar kasta tersebut. Agama Islam mengakui adanya persamaan hak, bahwa manusia itu dihadapan Tuhan adalah sama yang membedakan hanyalah tingkat ketaqwaanya. Dengan adanya nilai keyakinan semacam ini telah menjadikan ketertarikan masyarakat terutama dari kalangan petani dan kalangan masyarakat kelas bawah.
Faktor lain yang menjadikan Islam mudah diterima masyarakat adalah karena ajaran Hindu dan Budha juga belum begitu tertanam kuat di kalangan masyarakat bawah dan lebih banyak dikenal di kalangan atas (kerajaan), sehingga Islam dengan mudah mengambil peran di tengah masyarakat dan menjadi agama yang mengalami perkembangan cukup pesat.
 Meski ajaran Hindu dan Budha lebih dulu dikenal oleh masyarakat, namun tidak sedikit pula yang masih menganut kepercayaan paganisme atau animisme yang cenderung bersifat mistik atau meyakini hal-hal yang berbau supranatural. Dimana dari kepercayaan ini erat kaitanya dengan ritual-ritual untuk memuja para dewa dengan media sesaji yang diiringi dengan berbagai macam bacaan mantra. Mereka meyakini bahwa dengan melakukan ritual-ritual tersebut akan menjauhkan mereka dari marabahaya, menjadi semacam tolak bala sekaligus sebagai media pengusiran terhadap roh-roh jahat.
Karena ritual-ritual tersebut telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, maka akan sulit kiranya jika agama Islam sebagai agama yang sangat menentang praktek-praktek yang mengarah pada kemusyrikan tersebut menghapus secara total, karena jika hal ini dilakukan bukan tidak mungkin akan menimbulkan sikap antipati masyarakat terhadap Islam sendiri. Sehingga dengan demikian perlu adanya sebuah pendekatan yang bisa menjadikan  masyarakat menerima ajaran Islam tanpa harus merasa terusik untuk tetap bisa meneruskan apa yang sudah menjadi tradisi mereka.
Sebuah prestasi yang cukup gemilang dicapai oleh Walisongo sebagai penyebar ajaran Islam di tanah Jawa yang mencoba memanfaatkan budaya dan tradisi lokal sebagai media berdakwah yang terbukti berhasil menarik banyak pengikut. Hal ini terkait dengan pendekatan yang dilakukan oleh para walisongo untuk menjalankan misi dakwahnya dengan penuh sikap toleran. Adapun cara yang dilakukan para walisongo dalam berdakwah, antara lain  dengan memanfaatkan kesenian wayang kulit yang banyak digemari oleh masyarakat pada waktu itu. Dimana kesenian ini pada awalnya lebih banyak bercerita tentang ajaran moral dari agama Hindu ataupun Budha, namun kemudian diganti oleh walisongo dengan ajaran-ajaran moral yang sesuai dengan ajaran Islam. Sedangkan tradisi membuat sesaji dalam setiap ritual untuk meminta keselamatan atau syukuran dibiarkan tetap berjalan, hanya saja para wali kemudian mengganti bacaan mantra dalam ritual tersebut dengan bacaan ayat-ayat suci al-Qur’an. Maka, tidak heran jika sekarang masih banyak kita jumpai ritual atau tradisi-tradisi semacam itu seperti acara sekatenan, nyadran, kenduri dan lain lain.
Apa yang kita ketahui dari kenyataan tersebut adalah, bahwa, sikap toleransi akan senantiasa kita jadikan sebagai landasan atau prinsip yang harus kita pegang dalam kehidupan beragama terutama kita yang berada dalam lingkungan yang plural.
Namun, semangat untuk menjaga sikap toleransi dalam beragama saat ini mulai terusik dengan adanya gerakan-gerakan yang membawa misi pemurnian ajaran Islam yang menganggap bahwa praktek-praktek ibadah yang mengalami sinkretisasi dengan budaya-budaya lokal dianggap sesat dan bid’ah, bahkan tidak jarang mereka menganggap para penganutnya sebagai kafir dan yang lebih ekstrem lagi dikatakan halal darahnya sehinga berhak untuk dibunuh. Sikap keberagamaan semacam ini bukan tidak mungkin akan merubah tatanan sosial masyarakat yang sudah berjalan, dimana antar golongan ataupun umat beragama yang lain akan saling mengklaim kebenaran yang pada akhirnya akan berujung pada sikap saling bermusuhan karena masing-masing kelompok menganggap dirinyalah yang paling benar. Jika hal ini dibiarkan, maka akan menjadi sebuah ancaman terhadap persatuan dan kesatuan bangsa.
[1] Disampaikan dalam rangka Micro Teaching Team Fasilittator MAPABA UTM. Selasa, 24 November 2009 di Sekretariat PMII Blondo, Magelang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar