Kamis, 05 Juli 2012

“ KARBITAN”


Oleh : Najib Aulia Zaman

Mungkin sahabat sahabat pernah membedakan rasa buah yang dibeli di pasar dengan buah yang dipetik lansung dari pohonya, tentu rasanya lebih enak buah yang dipetik langsung dari pohonya ketimbang yang dibeli di pasar bukan? Ya, sebagaimana kita tahu bahwa buah yang dijual di pasar kebanyakan adalah buah yang proses masaknya melalui rekayasa yang sering kita kenal dengan istilah buah karbitan. Dimana proses tersebut dilakukan agar buah bisa cepat masak untuk kemudian dijual. Bagi seorang pedagang buah hal ini akan menguntungkan karena bisa lebih cepat memenuhi stock daganganya ketimbang harus menunggu semua buah itu masak di pohonya meski dengan konsekuensi kesegaran buah tidak lagi terjamin bahkan kadar vitamin yang ada dalam buah tersebut tentu sudah berkurang. Dari proses tersebut, buah yang sebenarnya belum saatnya dipetik  harus dipetik untuk kemudian dipercepat proses masaknya dengan diberi bahan berupa tepung karbit sehingga bisa
cepat masak dalam waktu yang bersamaan. Maka jangan heran kalau kualitas buahnya berbeda jauh dengan buah yang masak secara alami.
Begitulah jika sesuatu telah mengalami rekayasa tentu akan berbeda kondisinya, tidak beda juga dengan apa yang terjadi di negeri ini, banyak hal yang telah mengalami proses rekayasa. Rekayasa yang bukan pada tempatnya yang hanya bertujuan untuk memanipulasi demi tujuan tujuan yang bersifat pragmatis. Lihat saja bagaimana persoalan hukum di negeri ini demikian rumit dan penuh dengan intrik. Keadilan hanya bisa dinikmati bagi mereka yang berduit, pada akhirnya rakyat kecilah yang menjerit.  Bagaimana tidak, seringkali kita diperlihatkan bagaimana hukum dijadikan permainan dan bisa diperjualbelikan. Oleh siapa? Tentunya oleh mereka para penegak hukum “karbitan” yang proses menjadi penegak hukum dulunya juga dilakukan dengan cara cara yang “karbitan” pula. Bahkan mungkin titel sarajananya pun didapat dengan cara yang tidak semestinya seperti membuat ijazah palsu atau menyogok  pihak kampus untuk bisa meluluskanya. Begitulah sistem “karbitan” juga telah menjamah dunia pendidikan kita, semua serba instan.  Tak pelak jika pelajar sekarang lebih memilih untuk mencari bocoran jawaban ujian ketimbang harus bersusah payah untuk belajar. So, kualitas sumber daya manusia kita sangatlah rendah, yang pada akhirnya mereka tidak lagi mampu menjawab kenyataan yang dihadapinya. Misalkan mereka menduduki jabatan tertentu maka kedudukan itu diperoleh dengan cara cara instan pula,jadilah ia seorang pejabat yang “karbitan”. Maka jangan heran jika masih banyak ironi, banyak penyimpangan, dsikriminasi, korupsi dan segudang persoalan yang melilit negeri ini.
Cara “karbitan” seakan telah menjadi paradigma sebagian besar masyarakat kita. Lihatlah dari sekedar hiburan di televisi saja sudah disuguhi dengan cara cara yang instan seakan jerih payah dan sikap menghargai proses tidak lagi ada artinya. Dari mulai tayangan sinetron yang merayu jutaan pasang mata pemirsanya dengan berbagai kehidupan mewah tanpa pernah mengajarkan bagaimana memperoleh kehidupan seperti itu kecuali dengan adegan adegan kedengkian, kecemburuan, balas dendam,percintaan dan hura hura. Masih belum cukup, acara televisi dikemas sedemikian rupa mengajak pemirsanya mengadu keberuntungan berdasar sms pendukungnya, dari mulai bakat pribadi  seperti tarik suara, sulap, tarian,melawak bahkan sampai menjadi dai agama. Jadilah mereka para idola “karbitan”, maka jangan heran jika mereka tidak bertahan lama dan cepat menghilang begitu saja. Perubahan instan hanya akan memberikan hasil sementara, apapun yang cepat didapat biasanya akan cepat berlalu. Begitulah bunyi hukum Briptu kamaru.
Masyarakat memilih cara “karbitan” (baca: Instan) karena itulah yang diajarkan oleh sebuah sistem dari negeri yang “karbitan”. Negeri ini belum saatnya untuk merdeka,karena pada kenyataanya kemerdekaan hanya bisa dinikmati oleh golongan tertentu saja, mereka yang kaya,mereka yang memiliki kedudukan, mereka yang memilki kuasa sedagkan bagi masyarakat kecil yang lemah tak berdaya memaknai kemerdekaan tak lebih sekedar kata kata,bahwa kita tidak lagi berperang melawan bangsa asing dengan senjata. Meski kenyataanya justru kita dijajah oleh bangsa sendiri,berperang,menumpahkan dendam dan kebencian antar golongan,antar kelompok masyarakat bahkan antar pelajar,di perkampungan di jalan raya bahkan di tempat tempat ibadah. Sungguh naif. Terlepas dari itu semua, kemerdekaan tidak bisa diukur secara materi. Kemerdekaan adalah masalah prinsip dan harga diri. Dimana sayangnya kedua hal tersebut mulai menghilang di zaman matrealistis ini.
Pejabat kita sering juga memilih cara cara yang “karbitan”. Untuk sekedar menutupi hutang dalam negeri  dijualah aset aset dan kekayaan negara kepada pihak asing, untuk sekedar menghabiskan dana yang sudah dianggarkan dibuatlah proyek yang seadanya, untuk sekedar menghindari kritik tidak melakukan tindakan apa apa maka dibuatlah program baru yang sejatinya tidak bermutu. Maka jangan heran jika pemimpin kita kemudian menggunakan jingle Mie instan sebagai theme song dalam kampanyenya. Dan pencitraan adalah salah satu cara instan untuk meraih simpati dari orang orang yang berpikir instan pula.
Jadilah negeri ini negeri “karbitan”, pemimpinya ‘karbitan”,pejabat pemerintahnya “karbitan”, publik figurnya “karbitan”,sistemnya “karbitan”. Siapa yang salah? Jangan tanyakan pada pemerintah karena mereka tidak tahu apa yang kita rasa, jangan tanyakan pada penegak agama karena kitab suci saja dikorupsinya, jangan tanyakan pada guru karena mereka sedang sibuk mengurus kenaikan gajinya, lantas kita bertanya pada siapa? Tanyakanlah pada hati nurani kalian masing masing....
Setiap zaman ketidakadilan itu akan selalu mengikuti dan hanya kebajikanlah yang akan selalu menjadi pemenangnya. Setiap langkah, setiap noktah dan setiap denyut nadi kehidupan ini akan meninggalkan sejarah yang akan berlalu tanpa pesan, tanpa kesan hingga hilang tak terkenang ketika kita hanya menuruti ego diri.
Kadang ketidakberdayaan menghantui, kadang ketidak pastian mengintervensi, kadang pikiran mendominasi yang mengabaikan kata hati untuk berbuat, untuk bertindak tanpa tahu diri, menghujat, mencaci, merasa paling benar sendiri.
Mungkin seribu petuah tak cukup untuk menasehati dari hati kita yang telah mati dan alampun takkan sanggup lagi mengajari arti sebuah eksistensi dari batin kita yang telah terkunci. Cukupkah kita bisa memahami dari beberapa nasehat ini? “Jangan melakukan hal hal yang merendahkan diri, senatiasa melakukan kebaikan meski sekecil apapun itu,berendah hatilah dengan apa yang kau miliki karena keangkuhan dan kesombongan itu akan menghalangi datangnya pengetahuan”

Semoga kita tidak termasuk ke dalam golongan umat yang dijadikan buta, tuli dan bisu hati nuraninya agar kita bisa menjadi pribadi yang matang dengan proses yang benar bukan menjadi pribadi yang ‘karbitan”.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar