Senin, 20 Mei 2019

MELAWAN AHLUL FITNAH WAL JAMA’AH

Alhamdulillah masih ada kesempatan buat menulis, setelah sekian lama tidak menuangkan pemikiran dalam bentuk tulisan. Sepertinya saya sedang terjangkit syndrome Mager (Malas Gerak) bahkan untuk sekedar ngetik di tuth keyboard komputer. Semangat untuk kembali menulis ini didorong oleh maraknya informasi yang bertebaran di dunia maya yang cenderung mereduksi cara kerja akal sehat kita, karena ketika dibiarkan dan tanpa counter akan menimbulkan kekacauan (chaos) dalam sikap, ucapan dan tindakan. Rasanya gerah juga kalau hanya sebatas menjadi bagian silent majority yang hanya bisa menyimak dan memendam amarah, padahal sudah jelas mereka para Ahlul fitnah wal jama’ah harus kita lawan. Tapi untungnya kemarahan itu tidak saya luapkan dalam bentuk caci makian apalagi sampai gebrak-gebrak meja, lebih baik disalurkan dalam bentuk tulisan yang sekiranya bisa menjadi solusi untuk ditawarkan.

Kita tahu bahwa, beberapa waktu terakhir ini kita disuguhkan dengan berbagai isu negatif yang sengaja dihembuskan oleh orang-orang yang menginginkan ada kekacauan di negeri yang kita cintai ini. Beragam cara mereka lakukan mulai dari meruntuhkan kepercayanaan masyarakat terhadap pemimpin negara dengan berbagai fitnahnya hingga penggiringan opini sesat bahwa ideologi bangsa ini harus dirubah karena dianggap belum bisa menjawab persoalan bangsa. Mereka ini adalah korban doktrinasi dari pihak-pihak yang berkepentingan untuk menguasai negeri ini dengan cara-cara yang kotor. Kita saat ini sedang memasuki masa-masa perang terbuka terlebih di dunia maya. Dimana propaganda sering memenuhi wajah buku kita (baca:Facebook), Whatsapp, Instagram bahkan televisi tak luput  jadi ajang media provokasi. Isu murahan dikemas sedemikian rupa tak terkecuali agama yang dijadikan jualan demi meraih kuasa.
Kebencian seolah telah mematikan nalar akibat badai fitnah yang dihembuskan, korbanya bukan lagi orang yang rendah pendidikan, bahkan yang dianggap memiliki kapasitas intelektual tinggi pun tak luput jadi korban. Mulai dari dokter, pejabat negara, ASN, artis, dosen, tokoh agama, pilot dan yang terakhir seorang guru honorer. Tidak tanggung-tanggung, nada kebencian yang mereka ungkapkan sudah mengarah pada ancaman, bahkan dengan vulgarnya menyatakan secara terbuka ingin memenggal kepala seorang pimpinan negara. Bisa kita bayangkan ancaman yang begitu entengnya diucapkan kepada seorang presiden sebagai simbol negara, apalagi kepada orang biasa yang tidak sejalan dengan pemikiranya. Dan benar saja akibat derasnya arus informasi hoax yang bertebaran di media sosial telah merubah padangan sebagian orang yang puncaknya terasa pada saat menghadapi pesta demokrasi (Pilpres) sehingga memunculkan friksi besar di tengah masyarakat kita. Gempuran Ahlul fitnah wal jama’ah  dengan kampanye hitamnya bagaikan epos Mahabarata dimana yang baik dicari kejelekanya dan yang jahat dicari-cari kebaikanya. Basudewa, salah satu tokoh epik, pernah berujar, “Kemenangan berarti kebenaran terungkap”.
Terlepas dari persoalan politik yang ada, ada satu hal yang mesti kita jadikan bahan instrospeksi kenapa mereka yang kita anggap berpendidikan tinggi mudah temakan propaganda. Bahkan seorang guru yang seharusnya menjadi teladan bersikap dan berbicara bagi murid-muridnya dengan mudahnya melontarkan nada kebencian secara terbuka di dunia maya yang bisa diakses siapa saja. Alhasil, dia harus berurusan dengan pihak berwajib karena tidak bisa mengkondisikan jemarinya sharing tanpa saring.

Melihat realita seperti ini, sebagai langkah preventif agar virus kebencian ini tidak menjalar kemana-mana dan korban dari ahlul fitnah wal jama’ah tidak bertambah, maka cara melawan dimulai dari jalur pendidikan yang mengajarkan bagaimana cerdas bermedia sosial, karena sekarang memang sudah eranya dan tidak bisa kita pungkiri, dunia maya sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia.
Belajar dari Negara Finlandia (yang sistem pendidikanya nomor satu di dunia) disana siswa diajarkan bagaimana mengenali sejak dini mana informasi yang layak dan tidak untuk dikonsumsi. Perwujudan dari kurikulum berpikir kritis telah membantu mengenali jenis informasi yang ditemui, apakah dalam kategori layak, disinformasi, propaganada, intimidasi atau hoax. Bahkan, dari pendekatan tersebut juga dijelaskan metode yang digunakan sehingga siswa mampu mengidentifikasi mana akun bot, manipulasi foto, video, verifikasi sumber berita dan sebagainya. Metode ini bisa bekerja maksimal karena didukung juga adanya budaya baca yang tinggi di negara tersebut (dimana 5,5 juta orang meminjam buku 68 juta buku per tahun, hebat kan). Sedangkan negara kita tradisi literasi dan budaya baca masih rendah, bahkan mungkin malah masih rendah daripada minat berdemonstrasi :-D, maka menjadi tanggung jawab kita bersama bagaimana bisa menciptakan iklim budaya baca di tengah masyarakat, terbukti dengan banyak membaca, pikiran kita menjadi lebih terbuka dan menambah daya pikir kritis kita sehingga tidak menelan informasi mentah-mentah yang bisa berujung tindakan gegabah.
Semoga, ke depan pemerintah bisa mewujudkan program pembangunan SDM dengan Nawacitanya sehingga lahir generasi yang cerdas, berkarakter, gemar membaca dan memiliki kepribadian yang berbudi luhur. (Njb) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar