(**Cerpen ini saya buat untuk
partisipasi mengikuti Lomba Cerpen dalam Rangka Gebyar Hari Santri tahun lalu (2016),
tapi karena tidak masuk nominasi lebih baik saya bagikan disini. Selamat
Menikmati)
Suara lantunan kalam ilahi terdengar lirih di sudut ruang salah satu kamar pesantren. Dengan terbata mengeja alif, Ba,ta lelaki tua yang akrab dipanggil pak Darsin itu beberapa kali mengulang bacaanya agar terdengar fasih. Sulit baginya untuk bisa megucap dengan jelas deretan huruf huruf hijaiyah itu. Selain memang belum
mengerti bacaannya, pandangan matanya yang sudah kabur dan lidahnya yang kelu menjadikanya susah untuk bisa mengucap setiap kata. Namun baginya tidak ada kata terlambat, usia bukanlah penghalang untuk senantiasa belajar. Hasratnya yang kuat untuk bisa membaca al-Quran
dengan baik dan benar dibuktikanya dengan selalu mendaras ayat ayat suci itu siang dan malam.
Hari harinya dia habiskan di masjid komplek pondok pesantren untuk beri’tiqaf, berdzikir, membaca al-Quran, dan tentunya sholat berjamaah. Tak pernah lelah bibirnya hingga basah mendesah mengalunkan kalimah tayyibah. Sesekali batuk berdahak menyentak, menghentak jiwa jiwa yang sedang tidur nyenyak di sepertiga malam yang mulai berjalan hingga berkumandang adzan. Matanya terpejam dalam-dalam mengisyaratkan pengakuan yang tak sanggup terwakilkan oleh ucapan lisan. Tak lama air matanya mulai bercucuran merambat perlahan di setiap guratan kulit di wajahnya yang tak lagi tampan. Tubuhnya bergetar seirama dengan isak tangisan yang entah apa yang hendak diungkapkan. Hanya bacaan istighfar yang seakan menggambarkan ungkapan penyesalan dari setiap dosa dan kesalahan.
“Ampuni hambamu
ini Yaa Alloh, betapa banyak dosa yang telah hamba lakukan” terucap lirih ratapnya
pedih, diikuti bulir bulir air mata di sela panjatan doanya.
Pak
Darsin, santri
tertua di pondok pesantren Al-Hikmah salah
satu dari sekian orang yang merasa menyesal melewatkan masa mudanya begitu
saja, tak banyak hal bermanfaat yang dia lakukan. Kini dia ingin menghabiskan
sisa umurnya hanya untuk beribadah dan berbuat kebaikan.
Karena
keinsyafanya itu, Pak Darsin yang kini telah menginjak usia kepala tiga rela
nyantri di pesantren yang berada di pelosok desa nan jauh dari pusat kota.
Saat
pertama kali datang ke pesantren, ia langsung ditemui oleh Kyai Sam’ani
pengasuh pondok pesantren Al-Hikmah tempat ia akan menimba ilmu.
“Yakin kamu
ingin nyantri di sini”? Tanya Kyai Sam’ani begitu Pak Darsin mengutarakan
keinginanya.
“Betul kyai,
saya sudah bertekad bulat ingin mondok disini, belajar agama dengan kyai”
jawabnya.
“kamu sudah
berkeluarga?bagaimana dengan anak istrimu jika kau tinggal mengaji disini dalam
waktu yang cukup lama? Bagaimana kamu akan menafkahi mereka?”
Rentetan
pertanyaan kyai kali ini membuatnya sedikit gugup, keputusanya untuk mondok bagi
orang yang sudah berkeluarga dengan meninggalkan anak istri untuk waktu lama
memang terdengar aneh. Meski sebenarnya ia sudah terbiasa meninggalkan anak
istri dalam waktu lama, saat ia pergi “Jihad” bersama teman temanya di daerah
daerah konflik seperti di Ambon, Poso bahkan pernah ia dikirim ke Afganistan.
Ya,
saat itu ia memang pernah terlibat gerakan radikalisme yang mudah mengkafirkan golongan
yang tidak sepaham denganya meski dia sendiri saat itu belum mengerti sepenuhnya
tentang Islam. Bahkan sholat dan puasa yang menjadi kewajiban pun kadang ia
tinggalkan.
Sebelumnya
ia adalah anak muda yang kehilangan arah, dari keluarga yang brokenhome. Ia habiskan masa mudanya
untuk berfoya foya, segala macam jenis miras dan narkoba pernah ia coba.
Kehidupan malam bersama wanita adalah hal yang biasa. Kadang ketika uang tak
ada di tangan ia cari dengan melakukan pencurian. Menjarah, membuat ulah hingga
orang lain mengumpat mengucap sumpah serapah dan baginya adalah hal yang
lumrah.
Darsin
muda seolah mendapat hidayah, ia mulai berubah menjadi orang yang sangat taat beribadah,
selalu mengenakan jubah dan kopyah kemanapun kaki melangkah. Ia yang tadinya
garang pada semua orang menjadi alim pada setiap muslim. Namun sayang, hanya
kepada muslim yang sepaham ia berkawan, sedangkan yang lain ia kafirkan. Padanya
dijanjikan surga oleh seorang yang baru dikenalnya.
Ia
beragama sebatas kulitnya saja, tidak lain karena ajaran yang ia dapat bukan
dari orang yang tepat. Ia telah dicuci otak menjadi muslim yang radikal,
berpaham keras dan memahami ayat secara sepotong sepotong, mudah mengkafirkan
dan membid’ahkan. Dia juga pernah melakukan pengeboman sebuah gereja yang
mengakibatkan banyak korban jiwa. Meski ia merasa sangat berdosa setelah tahu
banyak mayat bergelimpangan dimana mana tidak terkecuali balita dan orang tua.
Tadinya ia akan melakukan bom bunuh diri, tapi ia urungkan, ia tak punya cukup
nyali untuk bersedia mati. Diletakanya tas rangsel berisi bom itu di depan
pintu masuk gereja, dan terjadilah bencana.
Ia
menyesal, berhari hari ia mengasingkan diri menghilang tak tahu dimana
rimbanya.
Suatu ketika dalam
pelarianya Darsin tanpa sengaja mendengar ceramah seorang kyai di radio salah
satu warung makan. Setiap jiwa pasti akan mati, begitu salah satu isi dari
ceramah tersebut dan selalu terngiang kemanapun Darsin pergi. Kali ini ia
merasakan takut akan maut yang sewaktu waktu datang menjemput sedang dirinya
merasa belum memiliki bekal yang cukup.
Lama
tidak terdengar kabar menjadi pelarian dan masuk Daftar Pencarian Orang (DPO),
beruntung berkat kelihaianya menyamar bertahun tahun pihak kepolisian tidak
berhasil menemukan. Tahun demi tahun berjalan, di saat orang orang sudah mulai
melupakan tragedi berdarah yang ia lakukan. Darsin menemui keluarga dan kembali
dalam pelukan anak istrinya.
Namun,
ia masih saja selalu dihantui isi ceramah di radio itu, ia mulai merenungkan,
di ruang tamu ia duduk termangu
memikirkan amal apa yang kelak dibawa sebagai bekal menuju kehidupan di
akhirat. Darsin sadar akan hal itu dan dia butuh bekal menuju kehidupan
akhirat, yang menuntut pertanggung jawaban setiap manusia ketika hidup di
dunia. Tapi entah apakah cukup waktu
untuk mencari bekal
itu menuju perjumpaan dengan Sang Pencipta mengingat sisa umurnya yang tinggal
menghitung waktu saja.
Usai
menceritakan asal muasal dirinya dan alasan kenapa ia ingin nyantri di pondok
al-Hikmah, ia memohon kepada kyai agar diterima untuk menjadi santrinya.
“Ijinkan saya untuk bisa nyantri disini kyai,
hanya dengan cara ini saya bisa memulai hidup kembali. Saya ingin menebus
kesalahan yang selama ini saya lakukan. Saya ingin berubah menjadi lebih baik”
pintanya memelas dengan nada bicara yang sedikit bergetar dengan mata yang sedikit
berkaca kaca.
Kyai
Sam’ani masih terdiam belum memberikan jawaban, suasana pun hening untuk
beberapa saat, Pak Darsin menunggu jawaban.
“Hmm..saya
hargai niatmu untuk nyantri disini, kalau kau benar benar ingin bertaubat saya
akan ijinkan asalkan kamu juga bisa
menjamin tercukupinya kebutuhan keluarga yang kamu tinggalkan” ujar Kyai memberikan
jawaban.
“Insyaalloh
kyai, saya berjanji akan tetap mencukupi kebutuhan keluarga yang saya
tinggalkan”
“baiklah, kalau
begitu nanti kamu biar diantar santri sini menuju kamarmu, kalau ada apa apa
temui saja lurah pondok sini namanya Misbah”
“Terimakasih
Kyai”
Segera Pak Darsin undur diri menuju kamar diantar salah satu santri yang sudah menunggu.
Segera Pak Darsin undur diri menuju kamar diantar salah satu santri yang sudah menunggu.
Hari
demi hari ia lalui, mengaji di pondok pesantren yang hampir semua santrinya
muda dan terpaut jauh dari usianya. Bahkan ada salah satu santri yang seusia
anaknya umurnya sekitar 15 tahunan.
“Ia cukup
pintar, namanya Usman masuk sini sekitar 5 tahun yang lalu dari keluarga yang
tidak mampu, ia yatim piatu” ujar Misbah lurah pondok sekaligus teman sekamar
Pak Darsin mulai memperkenalkan beberapa santri di pesantren barunya ini.
“Kalau yang
sedang menyapu itu Kang kholil, ia
termasuk senior disini sudah 10 tahun lebih ia mondok disini asalnya dari Tegal
Jawa Tengah” terangnya sembari menunjuk arah halaman.
Satu
persatu santri di pondok itu dikenalkan. Seiring berjalanya waktu, Pak Darsin
sudah mengenal beberapa santri dengan berbagai karakternya masing-masing.
Namun, dari puluhan santri yang ada, perhatianya lebih tertuju pada Usman,
santri yang perawakanya seperti anaknya.
Suatu
hari, entah mengapa naluri kebapakanya muncul begitu ia melihat Usman yang
nampak lemah hari itu. Ia menjadi teringat anaknya yang ada di rumah, ia merasa
iba dan dibawakanlah jatah makan dirinya untuk diberikan kepada Usman yang
sedang terbaring di teras kamarnya.
“Kamu nampak
lesu hari ini, makanlah ini” ujar Pak Darsin sembari menyodorkan sepiring nasi
dengan lauk tempe miliknya.
Usman
hanya tersenyum merasa mendapat perhatian yang selama ini jarang ia dapatkan.
Terlebih dari seorang yang belum lama ia kenal.
”Terimakasih pak
atas perhatianya, tapi maaf hari ini saya puasa” ujar Usman pelan.
Pak Darsin
sedikit terhenyak, santri seusia anaknya itu ternyata rajin menjalankan puasa
sunat. Andaikan anaku bisa seperti dia,batin Pak Darsin.
“Tapi bukankah
ini hari rabu? Kalau puasa senin kamis berarti kan besok baru bisa puasa” pak
Darsin mencoba mengingatkan Usman yang mungkin saja ia sedang lupa.
“saya puasa Daud
pak, yaitu satu hari puasa dan satu hari tidak” Jawab Usman dengan ramah.
Pak
Darsin semakin terperangah, ternyata bukan hanya puasa senin-kamis, tapi anak
itu puasa Daud yang puasanya selang satu hari puasa satu hari tidak. Betapa
malu dirinya yang selama ini banyak mengabaikan perintah agama jangankan untuk
menjalankan puasa sunat, bahkan puasa wajibpun jarang ia lakukan.
Sejak
saat itu, batinya merasa dicambuk ternyata dinamika di pesantren ini telah
mengajarkan banyak hal. Tentang ketaatan, kesederhanaan, kedisiplinan dan masih
banyak hal yang bisa dipetik dari kehidupan dunia pesantren.
Dan
pelajaran yang paling berharga di pesantren bagi Pak Darsin adalah kebersamaan,
santri melebur dalam satu ikatan kekeluargaan, tidak peduli ia berasal dari
keluarga kaya atau miskin, anak tokoh atau santri biasa,semua diperlakukan sama.
Makan bersama dalam satu wadah, berbagi kiriman dari keluarga sesama santri,
sampai joinan rokok adalah pemandangan yang biasa. Semua menanggalkan ego
masing-masing, sisi kemanusiaan nampak dalam keseharian dipenuhi rasa kasih
sayang.
Kontras
sekali dengan pemahaman agama yang sebelumnya pernah ia dapatkan, bahwa Islam
membolehkan kekerasan, bahkan orang yang berbeda pandangan halal darahnya untuk
dibunuh, bahwa menegakan panji Islam harus dengan jalan peperangan untuk menuju
Negara dengan sistem khilafah yang mereka cita-citakan.
Semua
itu ia dapatkan dari doktrin ajaran yang sesat dengan memanfaatkan agama
sebagai kedok untuk meraih kuasa. Entah siapa yang bermain di belakang itu
semua akan terus menjadi tanda tanya. Yang ia tahu kini, dirinya hanyalah
korban penyesatan ajaran agama yang diajarkan oleh orang yang justru tidak
paham agama.
Suatu
pagi ia dapati kabar Usman terbaring lemah karena sakit yang sudah lama di
deritanya. Ia harus dirujuk di rumah sakit dan diopname. Kata dokter, sakit
paru-paru yang ia idap semenjak kecil mulai akut. Meski ia termasuk santri yang
tidak pernah merokok, tapi sakit paru-paru itu sudah lama diderita. Hanya saja
kondisi kamar pondok yang sering penuh asap rokok dan jarang ada aktifitas berolahraga
semakin memperlemah keadaanya.
“Kasihan Usman, sudah
lama ia menahan sakit tapi ia tak pernah cerita, teman temanya juga baru tahu
kalau dia mempunyai riwayat sakit paru-paru setelah ia masuk rumah sakit ini. Andaikan
ia cerita dari dulu sakitnya mungkin tidak akan separah ini.” gerutu Misbah
usai menjenguk di rumah sakit bersama Pak Darsin.
Di
perjalanan pulang, Misbah banyak bercerita tentang Usman termasuk keluarga Kyai
yang selalu memberikan perhatian padanya, Kyai Sam’ani memang selalu memberikan
perhatian lebih bagi santri Yatim Piatu.
“Terus kenapa ia
yatim piatu?” Tanya Pak Darsin penasaran.
“Waktu itu
menurut cerita Usman dirinya harus merawat bapaknya yang sering sakit sakitan
dan terbaring lemah di rumah. Ia dari keluarga yang tidak mampu, terlebih
setelah ayahnya tak lagi kerja. Karena kondisinya itu, guna memenuhi kebutuhan
keluarga,ia membantu ibunya berjualan makanan keliling dan ia memutuskan untuk
tak lagi bersekolah. Ia memilih berjualan agar kelak bisa membantu membiayai
sekolah kedua adiknya yang masih kecil” Misbah menerawang, mengenang cerita kawanya
itu.
“Suatu ketika
ibunya mendapat musibah” kata Misbah mencoba melanjutkan kisah.
“ketika ia
berjualan di depan salah satu gereja. Terjadi ledakan sebuah bom besar yang
sempat heboh beberapa tahun lalu karena banyaknya korban jiwa. Bapak masih
ingatkan peristiwa yang sempat jadi berita dimana mana itu?” Tanya Misbah
kepada Pak Darsin yang sudah mulai menampakan wajah pucatnya.
“E..e..e.iiyya,
sa,,saya ingatt?” jawab Pak Darsin dengan terbata, tubuhnya seketika gemetar,
ada sesuatu yang seakan merontokan sisi kemanusiaanya, ia kaget dan berharap
peristiwa itu bukanlah ulah yang pernah ia lakukan beberapa tahun lalu.
“Kalau aku bisa
menangkap pelakunya pasti sudah aku hajar habis habisan, tega betul dia, sungguh
biadab. Kabarnya sampe sekarang pelaku pengeboman itu belum juga berhasil
ditemukan, masih berkeliran dimana mana” lanjut Misbah dengan nada emosi.
“Eh, pak kita
lanjutkan ngobrolnya sembari makan yuk! Itu ada warung” ajak Misbah yang sudah
lapar sedari tadi belum makan.
Pak
Darsin masih terdiam, seperti enggan menyambut ajakan makan, seakan memilih
lari sebelum ia merasa terhakimi. Tapi, ia masih juga penasaran dengan cerita
tentang Usman tadi. Ia pun berjalan dengan langkah gontai menghampiri temanya
yang sudah pesan soto dua porsi.
“Ayo pak
dimakan, biar saya pesankan minum sekalian” ajak Misbah sembari beranjak untuk
pesan minuman.
“Teh panas ya
pak”? teriak Misbah di meja pemesanan yang kali ini tidak ada jawaban kecuali
anggukan pelan Sang Pelayan.
Tawaran
makan kali ini tidak disambut Pak Darsin secepat ketika jatah makan di pondok
tiba. Nafsu makanya hilang seketika, pikiranya berkecamuk antara percaya dan
tidak percaya. Peristiwa yang kemudian mengubah sikapnya untuk mendalami agama
dengan benar harus terusik dengan munculnya kembali perasaan bersalah itu.
Apalagi korbanya adalah ibu dari temanya sendiri yang kemudian menjadikanya seorang
yatim piatu.
“Beruntung waktu
itu Usman jauh dari lokasi kejadian karena sedang diminta ibunya menukar uang
untuk kembalian, sehingga ia bisa selamat. Setelah terdengar ledakan yang
sangat dahsyat, ia langsung berlari mencari ibunya. Orang orang berlarian,
semua panik dan berteriak minta pertolongan. Waktu itu ia dilarang mendekat ke
lokasi, kemudian setelah beberapa saat ibunya ditemukan dalam keadaan meninggal
dengan tanganya terputus tubuhnya bersimbah darah,dan wajah yang susah dikenali
lagi. Ngeri saya membayangkan” cerita Misbah kali ini semakin menusuk raganya,
batinya teriris, pedih. Pak Darsin hanya bisa tertunduk, lesu.
“Oh ya waktu itu
katanya Usman sempat melihat gelagat orang yang mencurigakan, sebelum terjadi
ledakan ia sempat melihat ada orang menaruh rangsel hitam dekat pintu masuk
gereja yang kemungkinan itu adalah bomnya. Dan sekilas dia tahu wajah pelaku
yang saat itu katanya mengenakan topi biru”
Tidak
salah lagi, cerita yang disampaikan Misbah adalah sosok dirinya. Pak Darsin pun
seakan mati rasa, ingin sekali dirinya mati bunuh diri menebus derita temanya
yang karena ulahnya, kini ia menjadi sengsara.
Tidak
sampai disitu, diakhir cerita Misbah, katanya, ayahnya Usman meninggal setelah
mendengar kabar bahwa istrinya menjadi korban ledakan. Karena shock, sakit
jantung ayahnya kumat dan akhirnya meninggal Dunia.
Lengkap
sudah dosa Pak Darsin, entah dengan cara apa dirinya akan menebus kesalahanya
terutama pada Usman yang saat ini terbaring lemah di Rumah Sakit.
Ia
bertekad akan mencarikan biaya pengobatanya, berapapun biaya yang dibutuhkan. Namun,
sebelum itu terwujud terdengar kabar duka bahwa Usman telah meninggal dunia. Innalillahi wa inna ialihi roji’uun.
Nama
penulis : Muhamad Najib Aulia Zaman
Alamat : Cempan Rt.01/01,
Jerukgung, Srumbung, Magelang, Jawa Tengah 56483
CP : 085799800353
Tidak ada komentar:
Posting Komentar