Rabu, 28 Juni 2017

“JEJAK SANG MARTIR ”

(**Cerpen ini saya buat untuk partisipasi mengikuti Lomba Cerpen dalam Rangka Gebyar Hari Santri tahun lalu (2016), tapi karena tidak masuk nominasi lebih baik saya bagikan disini. Selamat Menikmati)
Suara lantunan kalam ilahi terdengar lirih di sudut ruang salah satu kamar pesantren. Dengan terbata mengeja alif, Ba,ta lelaki tua yang akrab dipanggil pak Darsin itu beberapa kali mengulang bacaanya agar terdengar fasih. Sulit baginya untuk bisa megucap dengan jelas deretan huruf huruf hijaiyah itu. Selain memang belum mengerti bacaannya, pandangan matanya yang sudah kabur dan lidahnya yang kelu menjadikanya susah untuk bisa mengucap setiap kata. Namun baginya tidak ada kata terlambat, usia bukanlah penghalang untuk senantiasa belajar. Hasratnya yang kuat untuk bisa membaca al-Quran dengan baik dan benar dibuktikanya dengan selalu mendaras ayat ayat suci  itu siang dan malam.

Hari harinya dia habiskan di masjid komplek pondok pesantren untuk beri’tiqaf, berdzikir, membaca al-Quran, dan tentunya sholat berjamaah. Tak pernah lelah bibirnya hingga basah mendesah mengalunkan kalimah tayyibah. Sesekali batuk berdahak menyentak, menghentak jiwa jiwa yang sedang tidur nyenyak di sepertiga malam yang mulai berjalan hingga berkumandang adzan. Matanya terpejam dalam-dalam mengisyaratkan pengakuan yang tak sanggup terwakilkan oleh ucapan lisan. Tak lama air matanya mulai bercucuran  merambat perlahan di setiap guratan kulit di wajahnya yang tak lagi tampan. Tubuhnya bergetar seirama dengan isak tangisan yang entah apa yang hendak diungkapkan. Hanya bacaan istighfar yang seakan menggambarkan ungkapan penyesalan dari setiap dosa dan kesalahan.
“Ampuni hambamu ini Yaa Alloh, betapa banyak dosa yang telah hamba lakukan” terucap lirih ratapnya pedih, diikuti bulir bulir air mata di sela panjatan doanya.
Pak Darsin, santri tertua di pondok pesantren Al-Hikmah  salah satu dari sekian orang yang merasa menyesal melewatkan masa mudanya begitu saja, tak banyak hal bermanfaat yang dia lakukan. Kini dia ingin menghabiskan sisa umurnya hanya untuk beribadah dan berbuat kebaikan.
Karena keinsyafanya itu, Pak Darsin yang kini telah menginjak usia kepala tiga rela nyantri di pesantren yang berada di pelosok desa nan jauh dari pusat kota.
Saat pertama kali datang ke pesantren, ia langsung ditemui oleh Kyai Sam’ani pengasuh pondok pesantren Al-Hikmah tempat ia akan menimba ilmu.
“Yakin kamu ingin nyantri di sini”? Tanya Kyai Sam’ani begitu Pak Darsin mengutarakan keinginanya.
“Betul kyai, saya sudah bertekad bulat ingin mondok disini, belajar agama dengan kyai” jawabnya.
“kamu sudah berkeluarga?bagaimana dengan anak istrimu jika kau tinggal mengaji disini dalam waktu yang cukup lama? Bagaimana kamu akan menafkahi mereka?”
Rentetan pertanyaan kyai kali ini membuatnya sedikit gugup, keputusanya untuk mondok bagi orang yang sudah berkeluarga dengan meninggalkan anak istri untuk waktu lama memang terdengar aneh. Meski sebenarnya ia sudah terbiasa meninggalkan anak istri dalam waktu lama, saat ia pergi “Jihad” bersama teman temanya di daerah daerah konflik seperti di Ambon, Poso bahkan pernah ia dikirim ke Afganistan.
Ya, saat itu ia memang pernah terlibat gerakan radikalisme yang mudah mengkafirkan golongan yang tidak sepaham denganya meski dia sendiri saat itu belum mengerti sepenuhnya tentang Islam. Bahkan sholat dan puasa yang menjadi kewajiban pun kadang ia tinggalkan.
Sebelumnya ia adalah anak muda yang kehilangan arah, dari keluarga yang brokenhome. Ia habiskan masa mudanya untuk berfoya foya, segala macam jenis miras dan narkoba pernah ia coba. Kehidupan malam bersama wanita adalah hal yang biasa. Kadang ketika uang tak ada di tangan ia cari dengan melakukan pencurian. Menjarah, membuat ulah hingga orang lain mengumpat mengucap sumpah serapah dan baginya adalah hal yang lumrah.
Darsin muda seolah mendapat hidayah, ia mulai berubah menjadi orang yang sangat taat beribadah, selalu mengenakan jubah dan kopyah kemanapun kaki melangkah. Ia yang tadinya garang pada semua orang menjadi alim pada setiap muslim. Namun sayang, hanya kepada muslim yang sepaham ia berkawan, sedangkan yang lain ia kafirkan. Padanya dijanjikan surga oleh seorang yang baru dikenalnya.
Ia beragama sebatas kulitnya saja, tidak lain karena ajaran yang ia dapat bukan dari orang yang tepat. Ia telah dicuci otak menjadi muslim yang radikal, berpaham keras dan memahami ayat secara sepotong sepotong, mudah mengkafirkan dan membid’ahkan. Dia juga pernah melakukan pengeboman sebuah gereja yang mengakibatkan banyak korban jiwa. Meski ia merasa sangat berdosa setelah tahu banyak mayat bergelimpangan dimana mana tidak terkecuali balita dan orang tua. Tadinya ia akan melakukan bom bunuh diri, tapi ia urungkan, ia tak punya cukup nyali untuk bersedia mati. Diletakanya tas rangsel berisi bom itu di depan pintu masuk gereja, dan terjadilah bencana.
Ia menyesal, berhari hari ia mengasingkan diri menghilang tak tahu dimana rimbanya.
Suatu ketika dalam pelarianya Darsin tanpa sengaja mendengar ceramah seorang kyai di radio salah satu warung makan. Setiap jiwa pasti akan mati, begitu salah satu isi dari ceramah tersebut dan selalu terngiang kemanapun Darsin pergi. Kali ini ia merasakan takut akan maut yang sewaktu waktu datang menjemput sedang dirinya merasa belum memiliki bekal yang cukup.
Lama tidak terdengar kabar menjadi pelarian dan masuk Daftar Pencarian Orang (DPO), beruntung berkat kelihaianya menyamar bertahun tahun pihak kepolisian tidak berhasil menemukan. Tahun demi tahun berjalan, di saat orang orang sudah mulai melupakan tragedi berdarah yang ia lakukan. Darsin menemui keluarga dan kembali dalam pelukan anak istrinya.
Namun, ia masih saja selalu dihantui isi ceramah di radio itu, ia mulai merenungkan, di ruang tamu  ia duduk termangu memikirkan amal apa yang kelak dibawa sebagai bekal menuju kehidupan di akhirat. Darsin sadar akan hal itu dan dia butuh bekal menuju kehidupan akhirat, yang menuntut pertanggung jawaban setiap manusia ketika hidup di dunia. Tapi entah apakah cukup waktu untuk mencari bekal itu menuju perjumpaan dengan Sang Pencipta mengingat sisa umurnya yang tinggal menghitung waktu saja.
Usai menceritakan asal muasal dirinya dan alasan kenapa ia ingin nyantri di pondok al-Hikmah, ia memohon kepada kyai agar diterima untuk menjadi santrinya.
 “Ijinkan saya untuk bisa nyantri disini kyai, hanya dengan cara ini saya bisa memulai hidup kembali. Saya ingin menebus kesalahan yang selama ini saya lakukan. Saya ingin berubah menjadi lebih baik” pintanya memelas dengan nada bicara yang sedikit bergetar dengan mata yang sedikit berkaca kaca.
Kyai Sam’ani masih terdiam belum memberikan jawaban, suasana pun hening untuk beberapa saat, Pak Darsin menunggu jawaban.
“Hmm..saya hargai niatmu untuk nyantri disini, kalau kau benar benar ingin bertaubat saya akan ijinkan asalkan kamu juga  bisa menjamin tercukupinya kebutuhan keluarga yang kamu tinggalkan” ujar Kyai memberikan jawaban.
“Insyaalloh kyai, saya berjanji akan tetap mencukupi kebutuhan keluarga yang saya tinggalkan”
“baiklah, kalau begitu nanti kamu biar diantar santri sini menuju kamarmu, kalau ada apa apa temui saja lurah pondok sini namanya Misbah”
“Terimakasih Kyai”
Segera Pak Darsin undur diri menuju kamar diantar salah satu santri yang sudah menunggu.
Hari demi hari ia lalui, mengaji di pondok pesantren yang hampir semua santrinya muda dan terpaut jauh dari usianya. Bahkan ada salah satu santri yang seusia anaknya umurnya sekitar 15 tahunan.
“Ia cukup pintar, namanya Usman masuk sini sekitar 5 tahun yang lalu dari keluarga yang tidak mampu, ia yatim piatu” ujar Misbah lurah pondok sekaligus teman sekamar Pak Darsin mulai memperkenalkan beberapa santri di pesantren barunya ini.
“Kalau yang sedang  menyapu itu Kang kholil, ia termasuk senior disini sudah 10 tahun lebih ia mondok disini asalnya dari Tegal Jawa Tengah” terangnya sembari menunjuk arah halaman.
Satu persatu santri di pondok itu dikenalkan. Seiring berjalanya waktu, Pak Darsin sudah mengenal beberapa santri dengan berbagai karakternya masing-masing. Namun, dari puluhan santri yang ada, perhatianya lebih tertuju pada Usman, santri yang perawakanya seperti anaknya.
Suatu hari, entah mengapa naluri kebapakanya muncul begitu ia melihat Usman yang nampak lemah hari itu. Ia menjadi teringat anaknya yang ada di rumah, ia merasa iba dan dibawakanlah jatah makan dirinya untuk diberikan kepada Usman yang sedang terbaring di teras kamarnya.
“Kamu nampak lesu hari ini, makanlah ini” ujar Pak Darsin sembari menyodorkan sepiring nasi dengan lauk tempe miliknya.
Usman hanya tersenyum merasa mendapat perhatian yang selama ini jarang ia dapatkan. Terlebih dari seorang yang belum lama ia kenal.
”Terimakasih pak atas perhatianya, tapi maaf hari ini saya puasa” ujar Usman pelan.
Pak Darsin sedikit terhenyak, santri seusia anaknya itu ternyata rajin menjalankan puasa sunat. Andaikan anaku bisa seperti dia,batin Pak Darsin.
“Tapi bukankah ini hari rabu? Kalau puasa senin kamis berarti kan besok baru bisa puasa” pak Darsin mencoba mengingatkan Usman yang mungkin saja ia sedang lupa.
“saya puasa Daud pak, yaitu satu hari puasa dan satu hari tidak” Jawab Usman dengan ramah.
Pak Darsin semakin terperangah, ternyata bukan hanya puasa senin-kamis, tapi anak itu puasa Daud yang puasanya selang satu hari puasa satu hari tidak. Betapa malu dirinya yang selama ini banyak mengabaikan perintah agama jangankan untuk menjalankan puasa sunat, bahkan puasa wajibpun jarang ia lakukan.
Sejak saat itu, batinya merasa dicambuk ternyata dinamika di pesantren ini telah mengajarkan banyak hal. Tentang ketaatan, kesederhanaan, kedisiplinan dan masih banyak hal yang bisa dipetik dari kehidupan dunia pesantren.
Dan pelajaran yang paling berharga di pesantren bagi Pak Darsin adalah kebersamaan, santri melebur dalam satu ikatan kekeluargaan, tidak peduli ia berasal dari keluarga kaya atau miskin, anak tokoh atau santri biasa,semua diperlakukan sama. Makan bersama dalam satu wadah, berbagi kiriman dari keluarga sesama santri, sampai joinan rokok adalah pemandangan yang biasa. Semua menanggalkan ego masing-masing, sisi kemanusiaan nampak dalam keseharian dipenuhi rasa kasih sayang.
Kontras sekali dengan pemahaman agama yang sebelumnya pernah ia dapatkan, bahwa Islam membolehkan kekerasan, bahkan orang yang berbeda pandangan halal darahnya untuk dibunuh, bahwa menegakan panji Islam harus dengan jalan peperangan untuk menuju Negara dengan sistem khilafah yang mereka cita-citakan.
Semua itu ia dapatkan dari doktrin ajaran yang sesat dengan memanfaatkan agama sebagai kedok untuk meraih kuasa. Entah siapa yang bermain di belakang itu semua akan terus menjadi tanda tanya. Yang ia tahu kini, dirinya hanyalah korban penyesatan ajaran agama yang diajarkan oleh orang yang justru tidak paham agama.
Suatu pagi ia dapati kabar Usman terbaring lemah karena sakit yang sudah lama di deritanya. Ia harus dirujuk di rumah sakit dan diopname. Kata dokter, sakit paru-paru yang ia idap semenjak kecil mulai akut. Meski ia termasuk santri yang tidak pernah merokok, tapi sakit paru-paru itu sudah lama diderita. Hanya saja kondisi kamar pondok yang sering penuh asap rokok dan jarang ada aktifitas berolahraga semakin memperlemah keadaanya.
“Kasihan Usman, sudah lama ia menahan sakit tapi ia tak pernah cerita, teman temanya juga baru tahu kalau dia mempunyai riwayat sakit paru-paru setelah ia masuk rumah sakit ini. Andaikan ia cerita dari dulu sakitnya mungkin tidak akan separah ini.” gerutu Misbah usai menjenguk di rumah sakit bersama Pak Darsin.
Di perjalanan pulang, Misbah banyak bercerita tentang Usman termasuk keluarga Kyai yang selalu memberikan perhatian padanya, Kyai Sam’ani memang selalu memberikan perhatian lebih bagi santri Yatim Piatu.
“Terus kenapa ia yatim piatu?” Tanya Pak Darsin penasaran.
“Waktu itu menurut cerita Usman dirinya harus merawat bapaknya yang sering sakit sakitan dan terbaring lemah di rumah. Ia dari keluarga yang tidak mampu, terlebih setelah ayahnya tak lagi kerja. Karena kondisinya itu, guna memenuhi kebutuhan keluarga,ia membantu ibunya berjualan makanan keliling dan ia memutuskan untuk tak lagi bersekolah. Ia memilih berjualan agar kelak bisa membantu membiayai sekolah kedua adiknya yang masih kecil” Misbah menerawang, mengenang cerita kawanya itu.
“Suatu ketika ibunya mendapat musibah” kata Misbah mencoba melanjutkan kisah.
“ketika ia berjualan di depan salah satu gereja. Terjadi ledakan sebuah bom besar yang sempat heboh beberapa tahun lalu karena banyaknya korban jiwa. Bapak masih ingatkan peristiwa yang sempat jadi berita dimana mana itu?” Tanya Misbah kepada Pak Darsin yang sudah mulai menampakan wajah pucatnya.
“E..e..e.iiyya, sa,,saya ingatt?” jawab Pak Darsin dengan terbata, tubuhnya seketika gemetar, ada sesuatu yang seakan merontokan sisi kemanusiaanya, ia kaget dan berharap peristiwa itu bukanlah ulah yang pernah ia lakukan beberapa tahun lalu.
“Kalau aku bisa menangkap pelakunya pasti sudah aku hajar habis habisan, tega betul dia, sungguh biadab. Kabarnya sampe sekarang pelaku pengeboman itu belum juga berhasil ditemukan, masih berkeliran dimana mana” lanjut Misbah dengan nada emosi.
“Eh, pak kita lanjutkan ngobrolnya sembari makan yuk! Itu ada warung” ajak Misbah yang sudah lapar sedari tadi belum makan.
Pak Darsin masih terdiam, seperti enggan menyambut ajakan makan, seakan memilih lari sebelum ia merasa terhakimi. Tapi, ia masih juga penasaran dengan cerita tentang Usman tadi. Ia pun berjalan dengan langkah gontai menghampiri temanya yang sudah pesan soto dua porsi.
“Ayo pak dimakan, biar saya pesankan minum sekalian” ajak Misbah sembari beranjak untuk pesan minuman.
“Teh panas ya pak”? teriak Misbah di meja pemesanan yang kali ini tidak ada jawaban kecuali anggukan pelan  Sang Pelayan.
Tawaran makan kali ini tidak disambut Pak Darsin secepat ketika jatah makan di pondok tiba. Nafsu makanya hilang seketika, pikiranya berkecamuk antara percaya dan tidak percaya. Peristiwa yang kemudian mengubah sikapnya untuk mendalami agama dengan benar harus terusik dengan munculnya kembali perasaan bersalah itu. Apalagi korbanya adalah ibu dari temanya sendiri yang kemudian menjadikanya seorang yatim piatu.
“Beruntung waktu itu Usman jauh dari lokasi kejadian karena sedang diminta ibunya menukar uang untuk kembalian, sehingga ia bisa selamat. Setelah terdengar ledakan yang sangat dahsyat, ia langsung berlari mencari ibunya. Orang orang berlarian, semua panik dan berteriak minta pertolongan. Waktu itu ia dilarang mendekat ke lokasi, kemudian setelah beberapa saat ibunya ditemukan dalam keadaan meninggal dengan tanganya terputus tubuhnya bersimbah darah,dan wajah yang susah dikenali lagi. Ngeri saya membayangkan” cerita Misbah kali ini semakin menusuk raganya, batinya teriris, pedih. Pak Darsin hanya bisa tertunduk, lesu.
“Oh ya waktu itu katanya Usman sempat melihat gelagat orang yang mencurigakan, sebelum terjadi ledakan ia sempat melihat ada orang menaruh rangsel hitam dekat pintu masuk gereja yang kemungkinan itu adalah bomnya. Dan sekilas dia tahu wajah pelaku yang saat itu katanya mengenakan topi biru”
Tidak salah lagi, cerita yang disampaikan Misbah adalah sosok dirinya. Pak Darsin pun seakan mati rasa, ingin sekali dirinya mati bunuh diri menebus derita temanya yang karena ulahnya, kini ia menjadi sengsara.
Tidak sampai disitu, diakhir cerita Misbah, katanya, ayahnya Usman meninggal setelah mendengar kabar bahwa istrinya menjadi korban ledakan. Karena shock, sakit jantung ayahnya kumat dan akhirnya meninggal Dunia.
Lengkap sudah dosa Pak Darsin, entah dengan cara apa dirinya akan menebus kesalahanya terutama pada Usman yang saat ini terbaring lemah di Rumah Sakit.
Ia bertekad akan mencarikan biaya pengobatanya, berapapun biaya yang dibutuhkan. Namun, sebelum itu terwujud terdengar kabar duka bahwa Usman telah meninggal dunia. Innalillahi wa inna ialihi roji’uun.

Nama penulis  : Muhamad Najib Aulia Zaman
Alamat            : Cempan Rt.01/01, Jerukgung, Srumbung, Magelang, Jawa Tengah 56483
Email               : najibaulia4@gmail.com
CP                   : 085799800353



Tidak ada komentar:

Posting Komentar